Kedua, Orang yang menganggap difabel partner setara. Orang model ini tidak ujug-ujug, tapi melalui pergaulan yang lama dengan orang difabel atau orang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang difabel.
Ketiga, orang yang menganggap penyandang difabel orang yang perlu dikasihani. Kelompok ini menurut penulis sangatlah dominan. Cerita penulis di awal adalah salah satu bagian dari kelompok ini. Sikap kasihan adalah naluri kemanusiaan. Padahal penyandang difabel dalam beberapa kasus seringkali tidak mau di kasihani.
Kembali ke gelaran Asian Para Games, jika pada ajang ini animo masyarakat tidak terlalu besar bisa jadi memang masyarakat merasa kasihan terhadap penyandang difabel yang bertanding. Jika pada olahraga yang di ikuti orang normal, sliding dan tackle adalah hal lumrah, maka akan terlihat aneh jika orang yang melakukan 'intrik' itu penyandang difabel.
Menurut hemat penulis, jika ingin membuat 'kesetaraan' antara penyandang difabel dengan atlet normal. Seharusnya tidak perlu lagi ada 2 ajang dengan waktu yang bebeda.Â
Kegiatan itu menjadi satu waktu justru akan mengkampanyekan warga difabel sebagai sesama manusia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak terlalu berimbas besar kampanye kesetaraan sesama manusia, jika olahraga masih di bedakan. Pembedaan waktu olahraga itu bagian dari diskriminasi terhadap penyandang difabel. Wallohu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H