Mohon tunggu...
Imam Maliki
Imam Maliki Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia yang ingin berbuat lebih, melebihi rasa malas

Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Asian Para Games, Diskriminasi terhadap Penyandang Difabel?

24 September 2018   13:46 Diperbarui: 26 September 2018   12:40 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari di tahun 2001, di kampus sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Malang, penulis bergegas naik ke lantai 3 gedung perkuliahan, karena waktu kuliah sudah lewat sedikit. Sampai di lantai 3 ternyata belum ada dosen pengampu kuliah. Di daftar mata kuliah, pengampu kuliah adalah seorang professor lulusan luar negeri, terlihat gelar akademiknya.

Setelah di tunggu beberapa saat muncullah professor itu dengan memakai penyangga kaki. Kaki Profesor itu memang seperti kecil sebelah. Kita yang mengikuti kuliah menjadi terhening ketika beliau menyampaikan kuliah, kagum bercampur kasihan.

Kita kagum karena dengan keterbatasan fisiknya, beliau mampu mencapai gelar akademik tertinggi. Juga kasihan karena letak perkuliahan di lantai 3, kenapa tidak di letakkan di lantai 1, biar beliau tidak susah-susah naik ke atas.

Pikiran Rakyat
Pikiran Rakyat
Beberapa minggu kemudian, ketika ngrumpi santai di gazebo tengah kampus. Kita mendapat informasi kalau professor itu memang kukuh pendiriannya.

Suatu saat professor terjatuh di tangga kampus, mahasiswa yang menolong justru di marahi. Ketika menentukan tempat perkuliahan dosen lain juga enggan untuk meng-istimawakan professor agar mengajar di lantai 1, karena pasti di tolak.

Difabel Tidak Mau Dianggap Berbeda

Menurut World Health Organization (WHO) difabel adalah suatu kehilangan atau ketidaknormalan, baik bersifat fisiologis, psikologis, maupun kelainan struktur maupun fungsi anatomis. Difabel atau disabilitas adalah istilah yang berasal dari kata different ability.

Beberapa teman difabel seringkali memang tidak mau di anggap memiliki kekurangan. Kita pun yang normal juga kadang merasa risih ketika sakit kita di lihat orang, seperti bisul di mata kaki atau jerawat di wajah kita jadi perhatian orang.

Sebentar lagi (6 -13 oktober 2019) Asian Para Games di gelar di Jakarta. Pesta olahraga para atlet difabel terbesar se Asia. Gelaran olahraga Para games ini mengikuti gelaran olahraga yang di ikuti atlet normal sebelumnya. Asean Para Games setelah gelaran Sea Games, Asian Para Games setelah gelaran Asian Games dan Paralympic games setelah ajang Olimpiade. Ajang Asian Para Games tidak semeriah Asian Games. Masyarakat bahkan banyak yang tidak mengerti jika Indonesia akan mempunyai hajat besar se Asia itu.

Wendra Afriana, seorang difabel yang juga penulis kompasiana dalam tulisannya mengatakan dia memimpikan ada kesetaraan antara orang difabel dan orang normal. Orang normal seharusnya tidak memicingkan mata ketika berhubungan dengan orang difabel.

Menurut penulis, ada 3 sikap orang menyikapi warga difabel. Pertama, orang yang memicingkan mata ketika melihat orang difabel. Orang ini menganggap orang difabel adalah seorang yang membebani orang lain. Jenis manusia seperti ini tidaklah banyak. Apalagi di tengah masyarakat beradab Negara Indonesia.

Kedua, Orang yang menganggap difabel partner setara. Orang model ini tidak ujug-ujug, tapi melalui pergaulan yang lama dengan orang difabel atau orang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang difabel.

Ketiga, orang yang menganggap penyandang difabel orang yang perlu dikasihani. Kelompok ini menurut penulis sangatlah dominan. Cerita penulis di awal adalah salah satu bagian dari kelompok ini. Sikap kasihan adalah naluri kemanusiaan. Padahal penyandang difabel dalam beberapa kasus seringkali tidak mau di kasihani.

Kembali ke gelaran Asian Para Games, jika pada ajang ini animo masyarakat tidak terlalu besar bisa jadi memang masyarakat merasa kasihan terhadap penyandang difabel yang bertanding. Jika pada olahraga yang di ikuti orang normal, sliding dan tackle adalah hal lumrah, maka akan terlihat aneh jika orang yang melakukan 'intrik' itu penyandang difabel.

Menurut hemat penulis, jika ingin membuat 'kesetaraan' antara penyandang difabel dengan atlet normal. Seharusnya tidak perlu lagi ada 2 ajang dengan waktu yang bebeda. 

Kegiatan itu menjadi satu waktu justru akan mengkampanyekan warga difabel sebagai sesama manusia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak terlalu berimbas besar kampanye kesetaraan sesama manusia, jika olahraga masih di bedakan. Pembedaan waktu olahraga itu bagian dari diskriminasi terhadap penyandang difabel. Wallohu a'lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun