Mohon tunggu...
Ferry Aldina
Ferry Aldina Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writerpreneur I Islamic Parenting Blogger

Praktisi Parenting Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merajut Tenun Kemerdekaan Guru Honorer

25 Agustus 2021   12:40 Diperbarui: 25 Agustus 2021   12:55 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun akhirnya kedua belah pihak sepakat berdamai dan Hervina bisa kembali mengajar serta mendapatkan dapodiknya yang sempat dihapus. Tetapi kejadian ini membuka lebar mata kita untuk selalu melek kesejahteraan para guru honorer.

Ini bukan tentang siapa yang mengunggah upah yang minim lalu viral tetapi ini tentang kehidupan pra sejahtera guru honorer yang masih digantung statusnya.

Guru Dewi di Kabupaten Bogor

Kita coba beralih ke cerita guru honorer yang di Kabupaten Bogor. BBC News melaporkan terdapat banyak guru digaji dengan dana BOS yang terkadang turunnya tidak tepat waktu. Dewi, guru honorer SDN bahkan saat awal mengajar itu digaji hanya Rp50 ribu sebulan. Berangsur naik menjadi Rp150 ribu sampai dengan Rp500 ribu.

Pengabdiannya selama 15 tahun merasa tidak dihargai oleh pemerintah. Dewi membutuhkan waktu 11 tahun untuk mendapatkan gaji Rp1 juta. Dana BOS yang tidak datang setiap bulan mengharuskannya memutar otak mencari penghasilan tambahan untuk kebutuhan sehari-hari.

Guru Ruth di Pedalaman Kalimantan

Sekarang kita simak cerita dari Pulau kalimantan. Ruth namanya, guru honorer yang telah mengajar 12 tahun di daerah pedalaman Kalimantan Timur. Perkara gaji rendah sudah biasa. Jika memperhitungkan gaji, ujar Ruth, sudah dari dalu dia berhenti.

Masalahnya adalah tidak ada guru yang mau mengajar ke pedalaman. Jika ia berhenti, bagaimana nasib anak-anak disana? Ruth pun bertahan dengan gajinya yang terlalu rendah  demi kecintaan kepada anak didiknya.

Yang lebih memprihatinkan lagi saat pandemi corona. Sinyal internet yang buruk dan tidak tersedianya HP bagi pelajar menjadi kendala utama ketika pembelajaran jarak jauh (PJJ). Jangankan untuk beli HP, pungkasnya, buat makan saja susah.

Alhasil, Ruth bergerliya mengajar tatap muka dengan muridnya tiga kali seminggu. Ia terpaksa sembunyi-sembunyi karena prihatin masih ada anak yang belum bisa baca, mengeja, dan memegang pensil saja belum benar. Ia tidak punya jalan lain selain jemput bola untuk mengajar.

Sebuah Harapan

Penulis berharap pemerintah memiliki grand design yang jelas untuk para guru honorer. Mereka yang sudah mengajar belasan tahun, umurnya lebih dari 35 tahun, guru agama di madrasah -yang tidak bisa mengikuti seleksi PPPK- langsung diangkat menjadi CPNS. Dengan begitu para guru honorer memiliki road map yang jelas dan nasib yang tidak digantung lagi.

Penulis pun mendukung dengan adanya Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer sebagai usul inisiatif Komite I dan Komite III DPD yang disahkan melalui Sidang Paripurna ke-11 DPD RI pada tanggal 6 Mei 2021. Harapannya, para wakil rakyat bisa memperjuangkan harkat dan martabat guru honorer.

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun