"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial"
Bunyi alinea keempat pembukaan UUD 1945 ini seperti "alarm" seumur hidup untuk pemerintah supaya fokus terhadap cita-cita bangsa. Jika masih banyak masyarakatnya belum sejahtera, pendidikan masih tidak merata, dan kesenjangan sosial merajalela maka seyogyanya pemerintah tidak bisa tinggal diam dengan PR yang menumpuk. Terlebih lagi di tengah pandemi ini, tantangan-tantangan berat bermunculan yang memaksa seluruh elemen harus beradaptasi dengan cepat.
Berbicara tentang memajukan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa, erat sekali kaitannya dengan guru. Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini telah menjadi ujung tombak dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Yang menjadi pertanyaannya, apakah sang pahlawan memang berjuang tanpa perlu diberi balas jasa?
Ironis kiranya kalau pemerintah tidak memberikan penghargaan kepada seluruh guru di Indonesia. Rupanya pribahasa air susu dibalas dengan air tuba pantas disandangkan jika memang fakta di lapangan banyak guru yang belum sejahtera.
Penghargaan terhadap guru belum sepenuhnya wajar bahkan cenderung diskriminatif. Kenapa bisa seperti itu? Mari kita lihat dengan kacamata objektif.
Lensa PemerintahÂ
Kita awali dari lensa pemerintah. Seperti dilansir dari laman Kemendikbud per November tahun 2020, jumlah guru yang mengajar sebanyak 3.357.935 orang. Sekitar 1.607.480 orang berstatus ASN sedangkan sisanya sebanyak 1.750.455 orang berstatus non-ASN.
Tidak heran jika Praptono, Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, mengungkapkan kepada CNN Indonesia terkait alasan kekurangan guru ASN.
"Karena pembukaan unit sekolah baru, penambahan ruang kelas baru, dan pensiun setiap tahun yang tidak diimbangi dengan rekrutmen CPNS."
Bukan hanya perbedaan dari segi kuantitas, kesejahteraan guru honorer pun perlu jadi sorotan. Dengan perbedaan tunjangan pensiun yang berbeda, apakah pemerintah bisa memajukan kesejahteraan para guru? Jangankan tunjangan pensiun, gaji yang dirapel dari dana BOS sudah membuat kehidupan guru honorer terseok-seok.
Gayung bersambut, senada dengan Cecep Darmawan, Pakar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia tersebut menegaskan jika pemerintah tidak bisa mengandalkan dana BOS yang terbatas untuk memberikan upah kepada guru honorer. Guru Besar UPI tersebut juga menambahkan,
"Menunggu guru ASN sulit dan lama, akhirnya diangkat guru-guru yang diberi label honorer. Ini menurut saya kelalaian pemerintah yang menjadi bom waktu."
Belum lagi data dari Kemendikbud, menunjukkan di tahun 2020 terdapat 72.976 guru yang akan pensiun. Ini menambah kekurangan guru menjadi 1.020.921 orang. Tidak behenti disana, kekurangan guru ini berlanjut di tahun 2021 yang diprediksi mencapai 1.090.678 orang. Jika ditarik proyeksi datanya ke tahun 2024, Indonesia diprediksi bakal kekurangan guru sebanyak 1.312.759 orang.
Bayangkan Indonesia kekurangan lebih dari satu juta guru! Jika Nagabonar masih ada maka tepat sekali jika ia mengatakan Apa Kata Dunia? Bagaimana mungkin Indonesia bisa mencerdaskan kehidupan bangsa jika minim jumlah pahlawan pendidikannya?
Pemerintah pun menggaungkan kebijakan barunya. Program perekrutan satu juta guru diharapkan menjadi solusi dari kekurangan guru dalam beberapa tahun ke depan.
Pemerintah melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) mengumumkan Rencana Perekrutan Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Program PPPK diharapkan bisa memenuhi kekurangan guru yang terus menurun hingga 6 persen tiap tahunnya. Data Pokok Pendidikan (Dapodik) menyebutkan bahwa guru ASN yang tersedia di sekolah negeri hanya 60 persen.
Program PPPK ini juga bertujuan untuk menyejahterakan bagi para guru honorer. Skema PPPK ini mengacu pada fakta bahwa kesejahteraan antara guru honorer dan ASN yang sangat jauh bak bumi dan langit.
Tentu tujuan mulia ini harus patut kita apresiasi. Namun sayangnya, kenapa program PPPK ini dinilai bukan malah menjadi solusi tetapi malah menjadi kontroversi? Mari kita lanjutkan bahasan seru ini dengan memakai kacamata guru honorer.
Lensa Guru Honorer
Kita mulai dari fakta kesejahteraan guru honorer di lapangan. Kalau kita mau merunut prahara dan nestapa guru honorer, sejatinya tidak cukup penulis tuangkan dalam artikel yang terbatasi seribu kata ini. Setidaknya sedikit cerita perjuangan guru honorer berikut menjadi cerminan bahwa keadaan tenaga pendidik Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Guru Hervina di Sulawesi Selatan
Kita mulai dari kasus yang viral di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Seorang guru honorer yang bernama Hervina mengunggah gajinya yang dirapel selama empat bulan sebesar Rp700 ribu. Guru honorer yang mengabdi selama 16 tahun tersebut kemudian disanksi berupa pemecatan secara sepihak melalui pesan singkat. Miris bukan?
Meskipun akhirnya kedua belah pihak sepakat berdamai dan Hervina bisa kembali mengajar serta mendapatkan dapodiknya yang sempat dihapus. Tetapi kejadian ini membuka lebar mata kita untuk selalu melek kesejahteraan para guru honorer.
Ini bukan tentang siapa yang mengunggah upah yang minim lalu viral tetapi ini tentang kehidupan pra sejahtera guru honorer yang masih digantung statusnya.
Guru Dewi di Kabupaten Bogor
Kita coba beralih ke cerita guru honorer yang di Kabupaten Bogor. BBC News melaporkan terdapat banyak guru digaji dengan dana BOS yang terkadang turunnya tidak tepat waktu. Dewi, guru honorer SDN bahkan saat awal mengajar itu digaji hanya Rp50 ribu sebulan. Berangsur naik menjadi Rp150 ribu sampai dengan Rp500 ribu.
Pengabdiannya selama 15 tahun merasa tidak dihargai oleh pemerintah. Dewi membutuhkan waktu 11 tahun untuk mendapatkan gaji Rp1 juta. Dana BOS yang tidak datang setiap bulan mengharuskannya memutar otak mencari penghasilan tambahan untuk kebutuhan sehari-hari.
Guru Ruth di Pedalaman Kalimantan
Sekarang kita simak cerita dari Pulau kalimantan. Ruth namanya, guru honorer yang telah mengajar 12 tahun di daerah pedalaman Kalimantan Timur. Perkara gaji rendah sudah biasa. Jika memperhitungkan gaji, ujar Ruth, sudah dari dalu dia berhenti.
Masalahnya adalah tidak ada guru yang mau mengajar ke pedalaman. Jika ia berhenti, bagaimana nasib anak-anak disana? Ruth pun bertahan dengan gajinya yang terlalu rendah  demi kecintaan kepada anak didiknya.
Yang lebih memprihatinkan lagi saat pandemi corona. Sinyal internet yang buruk dan tidak tersedianya HP bagi pelajar menjadi kendala utama ketika pembelajaran jarak jauh (PJJ). Jangankan untuk beli HP, pungkasnya, buat makan saja susah.
Alhasil, Ruth bergerliya mengajar tatap muka dengan muridnya tiga kali seminggu. Ia terpaksa sembunyi-sembunyi karena prihatin masih ada anak yang belum bisa baca, mengeja, dan memegang pensil saja belum benar. Ia tidak punya jalan lain selain jemput bola untuk mengajar.
Sebuah Harapan
Penulis berharap pemerintah memiliki grand design yang jelas untuk para guru honorer. Mereka yang sudah mengajar belasan tahun, umurnya lebih dari 35 tahun, guru agama di madrasah -yang tidak bisa mengikuti seleksi PPPK- langsung diangkat menjadi CPNS. Dengan begitu para guru honorer memiliki road map yang jelas dan nasib yang tidak digantung lagi.
Penulis pun mendukung dengan adanya Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer sebagai usul inisiatif Komite I dan Komite III DPD yang disahkan melalui Sidang Paripurna ke-11 DPD RI pada tanggal 6 Mei 2021. Harapannya, para wakil rakyat bisa memperjuangkan harkat dan martabat guru honorer.
Referensi :
satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H