Wabah covid 19 belum berakhir. Liga Indoesia terpaksa ditunda, perkantoran kembali me-WFH-kan karyawannya, para pelajar kembali dituntut belajar mandiri melalui pembelajaran daring. Apa hikmah dibalik semua ini?
Jika dikaitkan dengan perkara everything is gonna be at home mungkin ada baiknya kita kembali memvariasikan kegiatan di rumah. Salah satunya adalah meningkatkan budaya membaca. Kenapa membaca?
Ada banyak hal kenapa budaya membaca ini menjadi hikmah dibalik pandemi ini? Namun yang paling utama adalah mengatasi kejenuhan dalam kondisi yang serba daring.
Ketika kerja daring, belajar daring, pelatihan daring, dan refreshing pun ikut-ikutan daring maka untuk mengurangi efek negatif dari kegiatan daring adalah mulai membiasakan membaca buku cetak. Kenapa buku cetak?
Buku fisik lebih ampuh dibandingkan dengan buku digital dalam hal produktifitas. Tidak akan terganggu untuk membuka notifikasi, bisa menenangkan pikiran, dan tentunya menambah pengetahuan.
Ketika berbicara budaya membaca. Kenapa ini tugas bersama? Mari kita telaah satu per satu.
Pertama, Indonesia masih menempati ranking bawah
Saya selalu memerhatikan survei PISA atau Program for International Student Assessement yang dirilis OECD atau Organization for Economic Co-operation and Development. Survei PISA ini menyebutkan bahwa Indonesia belum bisa keluar dari negara dengan tingkat literasinya masih jauh dibanding dengan negara lain.
Jika kawan-kawan pernah membaca survei ini di tahun-tahun sebelumnya, nyatanya Indonesia menempati urutan kedua terbawah sebagai negara dengan tingkat literasinya. Beranjak ke tahun 2019, Indonesia mengalami peningkatan dengan berada di ranking 62 dari 70 negara atau masih bisa dikatakan ranking 10 terbawah.
Tidak heran jika Kepala Perpusnas, M. Syarif Bando, mengatakan bahwa perihal rendahnya tingkat literasi negara kita maka ini merupakan persoalan Indonesia yang harus menjadi fokus bersama.
Kedua, Belajar kepada bangsa lain
Kebetulan saya baru saja menyelesaikan buku "Groetjes Uit Endhoven" karya Hafizatul Ismi. Alangkah baiknya jika saya berbagi isi buku karya penulis yang menghabiskan dua tahun membersamai suami dan kedua anaknya selama di Belanda. Mari kita tengok apa saja yang bisa kita ambil pelajarannya.
Jika perkara kewajiban membaca maka orang-orang akan seolah terbebani. Tapi jika sudah masuk ke ranah perhatian dan kecintaan maka orang-orang akan sepenuh hati dalam membaca. Perhatian yang penuh terhadap buku sudah dilakoni pemerintah Belanda sejak warganya masih berumur 0 -- 2 tahun. Serius?
Penulis kelahiran Padang tersebut menuturkan ketika pertama kali berkunjung ke "posyandu" dekat rumahnya, ada sepaket hadiah yang diberikan kepada anak keduanya itu. Sebuah paket buku gratis dibagikan kepada bayi mungil untuk dibacakan oleh orang tuanya.
Ini menjadi perkenalan pertama si anak dengan buku.
Selanjutnya, ketika anak sulungnya ke perpustakaan maka akan ditemui anak-anak sebayanya yang sangat antusias untuk meminjam buku. Kegiatan meminjam dan mengembalikan buku sendiri rasanya sudah menjadi kebahagiaan bagi anak-anak. Pungkas Hafizatul Ismi dalam bukunya.
Kadang ada sesi "Telling Story"Â dari petugas perpustakaan yang disambut gemuruh anak-anak di perpustakan. Matanya memandang fokus. Para orang tua pun serius mendampingi anak-anaknya. Tampak rasa kedekatan anak dan orang tua yang patut kita contoh.
Selain kecintaan terhadap perpustakaan yang dipupuk sejak dini, ada lagi kegiatan yang menjadi kebiasaan anak-anak usia 4-6 tahun. Sekolah SD di Belanda sudah mengimbau kepada orangtua agar meluangkan waktu lima belas menit saja per hari untuk membacakan buku kepada anak-anak. Meski hanya lima belas menit tapi sangat berdampak kepada anak-anak ketika memasuki usia-usia remaja.
Jika diperhatikan, menurut Hafizatul Ismi, banyak sekali orang-orang di Belanda memanfaatkan waktunya di transportasi umum dengan membaca. Berbanding terbalik dengan kita yang masih belum bisa melepaskan gawai di tangan.
Ketiga, Hasil Minat Baca yang tergolong sedang
Kembali lagi ke Indonesia. Kajian Indeks Kegemaran Membaca yang dilakukan Perpusnas pada 2020 memberikan hasil minat baca Indonesia ke dalam kategori sedang dengan skor 55,74.
Kepala Perpusnas mengatakan bahwa hasil minat baca ini harus menjadi perhatian agar sisi hulu terkait peningkatan membaca harus segera digalakkan. Pasalnya, beliau menambahkan, persoalan literasi akan berdampak ke berbagai aspek, yaitu daya saing yang rendah, Indek Pembangunan Manusia (IPM), inovasi, pendapatan per kapita, sampai kepada indeks kebahagiaan masyarakat.
Setelah melihat data nasional dan internasional tentang literasi, maka sudah sebaiknya kita belajar dari bangsa lain untuk meningkatkan budaya membaca. Belanda adalah salah satu negara yang bisa kita tiru budaya membacanya. Negara yang menempati posisi 10 versi PISA ini bisa menjadi rujukan pemerintah dalam upaya menumbuhkan kecintaan bangsa kepada buku.
Semoga bisa jadi renungan bersama dan memotivasi setiap anak dan orang tua agar mulai mendekatkan diri dengan buku sejak usia dini.
Terima kasih.
Salam Literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H