Amerika Serikat, misalnya, memiliki sejarah menggunakan hak asasi manusia untuk membenarkan intervensi militer di negara-negara seperti Irak, Afghanistan, dan Libya. Meskipun intervensi ini dibingkai sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia dan mempromosikan demokrasi, mereka sering mengakibatkan korban sipil yang signifikan, destabilisasi, dan konflik yang berkepanjangan. Pada saat yang sama, AS mempertahankan aliansi dengan rezim otoriter yang secara sistematis melanggar hak asasi manusia, seperti Arab Saudi dan Mesir, yang menyoroti standar ganda yang mencolok.
### Ketimpangan Ekonomi dan Hak Asasi Manusia
Ketimpangan ekonomi semakin memperumit realisasi hak asasi manusia. Hak atas standar hidup yang layak, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 25 UDHR, tetap menjadi mimpi yang jauh bagi miliaran orang di seluruh dunia. Kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin menggarisbawahi keterbatasan kerangka hak asasi manusia dalam menangani ketimpangan ekonomi sistemik.
Di banyak negara berkembang, akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan sangat terbatas. Kebijakan ekonomi neoliberal yang dipromosikan oleh negara-negara kuat dan lembaga internasional sering memperburuk ketimpangan ini, merongrong kemampuan komunitas yang terpinggirkan untuk menggunakan hak mereka. Kesenjangan antara realitas ekonomi dan cita-cita hak asasi manusia ini menyoroti absurditas mengharapkan dunia yang adil dan sejahtera hanya melalui lensa hak asasi manusia.
### Peran Aktor Non-Negara
Aktor non-negara, seperti perusahaan multinasional dan organisasi internasional, memainkan peran signifikan dalam membentuk lanskap hak asasi manusia. Meskipun entitas-entitas ini tidak secara langsung bertanggung jawab kepada prinsip-prinsip UDHR, tindakan mereka memiliki implikasi yang mendalam terhadap hak asasi manusia di seluruh dunia.
Perusahaan multinasional sering beroperasi di negara-negara dengan hukum ketenagakerjaan dan perlindungan hak asasi manusia yang lemah, mengeksploitasi pekerja dan sumber daya alam untuk keuntungan. Degradasi lingkungan, kondisi kerja yang buruk, dan eksploitasi komunitas lokal adalah masalah umum yang terkait dengan aktivitas korporasi. Meskipun terjadi pelanggaran ini, menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas pelanggaran hak asasi manusia tetap menjadi tantangan, yang mengungkapkan kesenjangan kritis dalam kerangka hak asasi manusia.
### Menuju Pendekatan Pragmatis
Absurdnya konsep hak asasi manusia tidak menegasikan pentingnya atau kebutuhannya. Sebaliknya, ini menyerukan pendekatan yang lebih pragmatis dan kontekstual terhadap hak asasi manusia. Mengakui keterbatasan dan kontradiksi yang melekat dalam kerangka kerja saat ini dapat membuka jalan bagi solusi yang lebih efektif dan adil.
Pendekatan pragmatis terhadap hak asasi manusia akan melibatkan pengakuan terhadap perbedaan budaya dan keterlibatan dalam dialog yang bermakna dengan masyarakat yang beragam. Ini akan membutuhkan negara-negara kuat untuk menangani kekurangan hak asasi manusia mereka sendiri dan mengadopsi kebijakan yang konsisten yang memprioritaskan martabat manusia di atas kepentingan politik. Selain itu, menangani ketimpangan ekonomi sistemik dan menuntut pertanggungjawaban aktor non-negara adalah langkah penting menuju mewujudkan potensi sejati hak asasi manusia.
### Kesimpulan