Di bawah langit yang merona,
Terdengar nyanyian dari desa.
Suara Marhaen yang memelas,
Mengalun lirih tanpa alas.
Di hamparan sawah hijau nan luas,
Tertatih langkah mereka yang cemas.
Di balik senyum, ada luka menganga,
Tertutup debu jalanan, terlupakan asa.
Mereka yang menggarap tanah,
Menabur benih harapan tanpa salah.
Namun, hasil panen tak menentu,
Ditelan waktu yang terus berlalu.
Nyanyian mereka menggema,
Di sudut-sudut kota yang penuh gema.
Namun siapa peduli suara mereka?
Hanya angin yang membelai lembut nyawa.
Marhaen yang lemah tak berdaya,
Di bawah naungan kuasa yang menggema.
Mereka bernyanyi dalam duka,
Menggugah nurani yang kian pudar.
Dalam balutan kain sederhana,
Mereka bertahan, meski lara.
Di bawah terik mentari yang menyala,
Mereka tetap tegar, meski tak punya apa-apa.
Nyanyian Marhaen, nyanyian kesedihan,
Mengalun di setiap sudut peradaban.
Suara mereka yang menggugah rasa,
Mengajak kita untuk peduli, untuk bersama.
Di balik senyum mereka yang sederhana,
Terdapat cerita tentang perjuangan tanpa akhir.
Mereka yang terus berjalan, meski tertatih,
Menjadi simbol kekuatan, dalam setiap langkah yang gigih.
Nyanyian Marhaen, nyanyian harapan,
Mengalun lembut di setiap detak jantung.
Suara mereka yang menggugah nurani,
Mengajak kita untuk bersama, untuk peduli.
Dalam nyanyian itu, ada harapan,
Meski terbungkus dalam duka.
Mereka yang bernyanyi, mengingatkan kita,
Bahwa mereka juga manusia, layak dicinta.
Nyanyian Marhaen, nyanyian kebangkitan,
Mengalun di setiap hembusan angin.
Suara mereka yang menggugah semangat,
Mengajak kita untuk bergerak, untuk berubah.
Di bawah langit yang merona,
Terdengar nyanyian dari desa.
Suara Marhaen yang penuh harapan,
Mengalun dalam setiap langkah kehidupan.