Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Posisi Pemuda Dalam Hegemoni Kapitalisme Global

14 Juli 2024   04:15 Diperbarui: 14 Juli 2024   06:22 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam era globalisasi yang semakin mendalam, pemuda berada pada posisi yang unik dan kritis dalam menghadapi hegemoni kapitalisme global. Di satu sisi, mereka adalah agen perubahan yang memiliki potensi besar untuk mengarahkan dunia menuju masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Di sisi lain, mereka sering kali menjadi korban dari sistem kapitalis yang mengeksploitasi tenaga kerja murah, merampas hak atas pendidikan, dan mengekang kreativitas serta inovasi mereka demi keuntungan korporasi besar.

Kapitalisme global ditandai oleh dominasi perusahaan multinasional yang mengendalikan sebagian besar sumber daya dan kekayaan dunia. Dalam konteks ini, pemuda sering kali dipandang sebagai target pasar utama. Mereka dibombardir dengan iklan dan kampanye pemasaran yang mendorong konsumerisme, membuat mereka percaya bahwa kebahagiaan dan keberhasilan hidup dapat dicapai melalui kepemilikan barang-barang mewah dan gaya hidup yang glamor. Dampaknya adalah terbentuknya budaya konsumerisme yang mengikis nilai-nilai kemandirian, kerja keras, dan solidaritas sosial yang seharusnya menjadi pondasi bagi pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.

Di sektor pendidikan, hegemoni kapitalisme global juga sangat terasa. Banyak negara, terutama di dunia berkembang, mengalami tekanan untuk mengkomersialkan pendidikan. Biaya pendidikan yang tinggi menyebabkan banyak pemuda tidak dapat mengakses pendidikan yang berkualitas. 

Di sisi lain, kurikulum sering kali didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, bukan untuk mengembangkan potensi penuh individu. Akibatnya, pemuda cenderung dipersiapkan untuk menjadi pekerja yang taat dan produktif, bukan pemikir kritis yang mampu menggugat ketidakadilan dan menciptakan perubahan sosial.

Selain itu, pasar tenaga kerja global yang semakin kompetitif juga menempatkan pemuda pada posisi yang rentan. Banyak dari mereka terpaksa menerima pekerjaan dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk karena kurangnya kesempatan kerja yang layak. Di banyak negara, pemuda menjadi bagian dari angkatan kerja informal yang tidak memiliki perlindungan hukum dan jaminan sosial. Kondisi ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit untuk diputuskan, memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang sudah ada.

Namun demikian, pemuda juga memiliki kekuatan dan potensi besar untuk melawan hegemoni kapitalisme global. Sejarah telah menunjukkan bahwa perubahan sosial sering kali dipelopori oleh generasi muda yang berani bermimpi dan bertindak di luar batas-batas yang ditetapkan oleh sistem yang mapan. Di era digital ini, pemuda memiliki alat dan platform yang belum pernah ada sebelumnya untuk menyuarakan pendapat mereka, mengorganisir gerakan sosial, dan menciptakan jaringan solidaritas di seluruh dunia.

Gerakan-gerakan seperti Fridays for Future, yang dipimpin oleh Greta Thunberg, menunjukkan bagaimana pemuda dapat memainkan peran penting dalam mengadvokasi perubahan kebijakan yang mendesak untuk mengatasi krisis iklim. Mereka menuntut tanggung jawab dari para pemimpin dunia dan perusahaan besar untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke energi terbarukan. 

Gerakan ini tidak hanya menyoroti isu lingkungan, tetapi juga mengekspos ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terkait dengan perubahan iklim, seperti bagaimana komunitas miskin dan terpinggirkan lebih rentan terhadap dampak bencana alam.

Di bidang teknologi, banyak pemuda yang menjadi inovator dan pengusaha sosial yang menggunakan keterampilan mereka untuk menciptakan solusi bagi masalah-masalah sosial yang dihadapi komunitas mereka. Mereka mengembangkan aplikasi dan platform yang memfasilitasi akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan ekonomi bagi kelompok-kelompok yang kurang terlayani. Inovasi-inovasi ini menunjukkan bahwa teknologi tidak harus selalu menjadi alat untuk eksploitasi, tetapi juga dapat menjadi sarana untuk pemberdayaan dan keadilan sosial.

Di sisi lain, pemuda juga dapat memanfaatkan media sosial dan teknologi digital untuk membangun gerakan solidaritas dan jaringan kolaborasi global. Melalui platform-platform ini, mereka dapat berbagi informasi, menggalang dukungan, dan mengkoordinasikan aksi-aksi kolektif untuk melawan ketidakadilan. Kampanye seperti #BlackLivesMatter dan #MeToo menunjukkan bagaimana media sosial dapat digunakan untuk mengangkat isu-isu yang sering kali diabaikan oleh media arus utama dan memobilisasi jutaan orang untuk berdiri bersama melawan penindasan dan diskriminasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun