Kemakmuran, kata indah yang dijanjikan,
Dalam janji-janji manis di podium tinggi,
Namun, di balik tirai gemerlapnya,
Ada luka yang tersembunyi, jerit yang tak terdengar.
Di sudut-sudut kota yang mewah,
Gedung-gedung tinggi menjulang ke langit,
Ada pemulung yang mencari nafkah,
Di tumpukan sampah, di sela-sela kemewahan.
Pasar swalayan penuh dengan pangan,
Roti, daging, buah, sayur berlimpah ruah,
Namun di bawah jembatan itu,
Ada keluarga yang berjuang melawan lapar.
Jalan raya penuh dengan kendaraan,
Mobil-mobil mewah melaju kencang,
Namun di trotoar yang lusuh itu,
Ada kakek renta yang mengais nasib.
Di gedung-gedung megah, rapat-rapat digelar,
Kebijakan demi kebijakan dibahas,
Namun di gang-gang sempit itu,
Ada anak-anak yang kehilangan mimpi.
Televisi menyiarkan berita gembira,
Pertumbuhan ekonomi, angka-angka naik,
Namun di balik statistik itu,
Ada petani yang meratap gagal panen.
Kemakmuran yang dipuja-puja,
Seakan hanya milik segelintir saja,
Sedangkan yang lain,
Tersisih dalam bayang-bayang kesenjangan.
Apakah kemakmuran ini nyata,
Jika masih ada yang hidup merana?
Apakah janji ini benar,
Jika masih banyak yang menderita?
Ironi kemakmuran, itulah namanya,
Kehidupan yang tampak sejahtera,
Namun di baliknya, ada derita,
Yang tersembunyi di balik wajah-wajah ceria.
Mari kita buka mata dan hati,
Melihat realita yang sering terlupa,
Kemakmuran bukan hanya angka dan data,
Tapi tentang keadilan bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H