Jika Pemilu 1997 menggunakan sistem proporsional terbuka, kandidat dengan basis dukungan lokal yang kuat, aktivis masyarakat, atau figur publik yang populer karena prestasi tertentu, bisa memiliki peluang lebih besar untuk terpilih. Ini akan meningkatkan diversitas dan kualitas perwakilan di legislatif, dengan anggota yang mungkin lebih responsif terhadap kebutuhan konstituen mereka.
Stabilitas Politik
Salah satu risiko utama dari sistem proporsional terbuka adalah potensi meningkatnya fragmentasi politik. Dengan lebih banyak kandidat yang terpilih berdasarkan popularitas individu, partai politik bisa menjadi lebih terpecah, dan stabilitas politik bisa terganggu. Andaikata sistem ini diterapkan pada Pemilu 1997, mungkin akan muncul faksi-faksi dalam partai besar seperti Golkar, yang bisa mengakibatkan ketidakstabilan internal.
Namun, di sisi lain, keterbukaan sistem ini bisa memaksa partai politik untuk lebih demokratis dan responsif terhadap anggota dan pemilih mereka, karena mereka harus mendukung kandidat yang populer dan bisa memenangkan suara. Ini bisa menjadi langkah positif menuju demokrasi yang lebih matang dan representatif.
Kesimpulan
Andaikata Pemilu 1997 di Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka, hasilnya kemungkinan besar akan berbeda dalam beberapa aspek penting. Hasil pemilu mungkin akan menunjukkan variasi yang lebih besar dalam representasi, partisipasi politik kemungkinan meningkat, representasi di legislatif bisa lebih baik, namun juga ada risiko fragmentasi politik yang lebih tinggi. Sistem proporsional terbuka memiliki potensi untuk membuat pemilu lebih inklusif dan representatif, tetapi juga memerlukan manajemen yang baik untuk memastikan stabilitas politik yang berkelanjutan. Artikel ini menggarisbawahi pentingnya sistem pemilu yang adil dan transparan dalam membentuk demokrasi yang sehat dan efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H