**Di Bawah Langit yang Sama, Rasa yang Berbeda**
*Monolog oleh [Nama Karakter]*
(Di tengah panggung, [Nama Karakter] berdiri sendirian. Langit-langit panggung dihiasi proyeksi langit malam yang cerah, penuh bintang.)
[**Nama Karakter**]:
(Melihat ke atas, memandang bintang-bintang)
Langit ini. Langit yang sama yang kita pandangi bersama dulu. Di sini, di tempat ini, di bawah taburan bintang yang sama. Aku ingat betul, malam itu kau menggenggam tanganku dan berjanji, bahwa tak peduli apa yang terjadi, kita akan selalu bersama. Begitu banyak janji yang terucap di bawah langit ini. Janji yang sekarang hanya tinggal bayangan, menguap bersama angin malam.
(Tersenyum pahit, lalu menghela napas panjang)
Di bawah langit yang sama, kita mengukir mimpi-mimpi. Aku dan kau, dua jiwa yang merasa tak terpisahkan. Kita percaya bahwa dunia ini akan selalu mendukung kita. Kita percaya pada kebahagiaan yang abadi, pada cinta yang takkan pudar. Betapa naifnya aku kala itu.
(Tersenyum getir, lalu menunduk sejenak)
Waktu berjalan, dan perlahan aku mulai menyadari. Mimpi-mimpi itu mulai retak. Janji-janji mulai pudar. Kau mulai berubah, entah sejak kapan. Mungkin aku yang terlalu larut dalam harapan hingga tak melihat kenyataan. Kau, yang dulu selalu ada, mulai terasa asing. Senyummu tak lagi sama, tatapanmu mulai kosong. Di bawah langit yang sama, rasa kita mulai berbeda.
(Tersentak, lalu berbicara dengan nada lebih keras)
Kenapa? Apa yang terjadi dengan kita? Apa yang membuatmu berubah? Apa yang membuatku kehilangan dirimu, sedikit demi sedikit? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku. Di malam-malam sunyi seperti ini, di bawah bintang-bintang yang bersinar terang, aku mencari jawaban yang tak pernah kutemukan.
(Tersenyum pahit, kembali menatap langit)
Aku masih ingat saat kita berbaring di rumput, memandang bintang-bintang. Kau berkata bahwa bintang-bintang itu seperti harapan kita, bersinar terang di kegelapan. Tapi kini, harapan itu terasa jauh, tak terjangkau. Bintang-bintang yang dulu terasa hangat, kini terasa dingin dan asing.
(Diam sejenak, lalu berbicara dengan nada lembut)
Aku masih di sini, di bawah langit yang sama, mengenang semua yang pernah kita lalui. Aku tahu, aku tak bisa memaksamu untuk tetap di sini, untuk tetap menjadi seperti dulu. Mungkin memang kita ditakdirkan untuk berjalan di jalur yang berbeda, dengan rasa yang tak lagi sama.
(Menangis perlahan, tetapi tetap tegar)
Aku akan belajar menerima. Aku akan belajar merelakan. Di bawah langit yang sama, aku akan menemukan jalanku sendiri. Meskipun rasa kita berbeda, aku akan terus berjalan, membawa kenangan tentang kita, tentang janji-janji yang pernah kita buat.Â
(Melihat ke arah penonton, dengan tatapan penuh harapan)
Dan suatu hari nanti, mungkin di bawah langit yang sama, aku akan menemukan kembali kebahagiaan itu. Bukan denganmu, tapi dengan diriku sendiri. Karena aku tahu, meskipun rasa kita berbeda, langit akan selalu ada di sana, mengingatkanku bahwa hidup terus berjalan, bahwa harapan akan selalu ada.
(Tersenyum dengan air mata yang mengalir, lalu menutup monolog dengan nada tegas)
Selamat tinggal, untuk rasa yang pernah ada. Selamat tinggal, untuk kenangan di bawah langit yang sama.Â
(Tirai perlahan menutup, lampu meredup)
(***Monolog Selesai***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H