Marhaenisme, konsep politik yang digagas oleh Soekarno, memiliki implikasi yang dalam dalam membina hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks Indonesia, konsep Marhaenisme menjadi landasan bagi pembangunan nasional yang berkeadilan sosial dan ekonomi, termasuk dalam pembangunan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
   Pengertian Marhaenisme
Marhaenisme merupakan filsafat politik yang diperkenalkan oleh Soekarno pada tahun 1927. Marhaenisme menekankan pada keadilan sosial dan ekonomi bagi rakyat kecil atau "Marhaen", yang merupakan istilah Jawa untuk menyebut kaum petani atau buruh kecil. Konsep ini menolak kapitalisme dan menyuarakan kepemilikan kolektif atas sumber daya alam serta distribusi kekayaan yang merata.
   Implementasi Marhaenisme dalam Hubungan Pusat-Daerah
1.  Otonomi Daerah yang Membawa Keadilan Sosial  : Konsep Marhaenisme menjadi dasar bagi implementasi otonomi daerah di Indonesia. Melalui otonomi, daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelola urusan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokalnya, sejalan dengan semangat keadilan sosial.
2.  Pembangunan Ekonomi Berbasis Lokal  : Marhaenisme mendorong pembangunan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil. Hal ini tercermin dalam kebijakan pembangunan daerah yang mengutamakan pemberdayaan ekonomi lokal, pengembangan sumber daya manusia, dan penciptaan lapangan kerja yang merata.
3.  Keseimbangan Pembangunan  : Dalam hubungan pusat-daerah, Marhaenisme menekankan pentingnya menjaga keseimbangan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan serta antara daerah yang maju dan terbelakang. Ini dilakukan melalui alokasi sumber daya yang adil dan berkelanjutan.
4.  Partisipasi Masyarakat  : Marhaenisme menekankan pada partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. Dalam hubungan pusat-daerah, ini tercermin dalam pentingnya pemerintah pusat untuk melibatkan daerah dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam perencanaan pembangunan.
5.  Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan  : Konsep Marhaenisme menekankan kepemilikan kolektif atas sumber daya alam. Dalam hubungan pusat-daerah, hal ini mendorong adanya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan bersama.
   Tantangan dalam Implementasi Marhaenisme
Meskipun memiliki konsep yang idealistis, implementasi Marhaenisme dalam hubungan pusat-daerah di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain:
-  Korupsi dan Nepotisme  : Praktek korupsi dan nepotisme dapat menghalangi upaya pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi yang diusung oleh Marhaenisme.
-  Ketimpangan Pembangunan  : Masih terdapat ketimpangan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan serta antara pulau-pulau yang berbeda di Indonesia, yang menghambat terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi.
-  Keterbatasan Sumber Daya  : Keterbatasan sumber daya baik finansial maupun SDM menjadi kendala dalam mewujudkan pembangunan yang merata dan berkelanjutan di seluruh daerah.
-  Ketidakstabilan Politik  : Ketidakstabilan politik, baik di tingkat pusat maupun daerah, dapat mengganggu kelancaran implementasi kebijakan yang mengusung prinsip Marhaenisme.
   Kesimpulan
Marhaenisme memiliki relevansi yang kuat dalam membina hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Konsep ini mendorong terciptanya keadilan sosial dan ekonomi serta pemerataan pembangunan di seluruh wilayah. Meskipun demikian, tantangan-tantangan yang dihadapi dalam implementasinya menunjukkan perlunya upaya bersama dari pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan prinsip-prinsip Marhaenisme secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H