apa yang dimaksud dekonstruksi kondisi pascakolonial?
Dekonstruksi kondisi pascakolonial adalah pendekatan analitis yang mencoba untuk memahami, menyelidiki, dan merinci dinamika kekuasaan, identitas, dan hubungan di dalam masyarakat yang telah melewati fase pascakolonial. Pendekatan ini menantang pandangan tradisional terhadap sejarah, budaya, dan politik pasca kolonial, dengan merinci kompleksitas dan ketidaksetaraan yang dapat tersembunyi di balik narasi resmi.
Dekonstruksi pascakolonial mencoba mengidentifikasi dan memahami bagaimana struktur kekuasaan kolonial dapat terus berlanjut atau berubah setelah era penjajahan berakhir.Â
Untuk Konteks Indonesia, Dibilang persoalan dekonstruksi kondisi pascakolonial bisa dilihat dari dari karakteristik masyarakat Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda, yang membedakannya dengan tempat lainnya. Sebagai jajahan Belanda, kekayaan alam negeri ini dieksploitasi dan rakyatnya ditindas. Kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi hanya diperuntukan bagi anggota masyarakat strata tertentu. Borjuasi nasional tidak tumbuh. Masyarakat Indonesia banyak diisi kaum marhaen, baik memiliki alat produksi atau tidak.Â
Berbeda, misalnya, dengan kondisi masyarakat di India. Negeri yang dijajah Inggris itu menjadi pasar karena overproduksi di negara induk. Imperialisme dagang Inggris menjual berbagai barang di India berupa gunting, pisau, sepeda, mesin jahit, dan pakaian. Namun, di sisi lain, di India kelas borjuasi nasional bertumbuh sehingga mereka merasa tersaingi dengan kehadiran imperialisme Inggris. Karena itu, kalangan borjuasi nasional tampil menjadi pemimpin pergerakan India sehingga muncul nama-nama seperti Nehru, Tata, dan Birla.
Salah satu semboyan gerakannya adalah swadesi (gerakan yang menganjurkan penggunaan barang-barang buatan bangsa sendiri) untuk melawan imperialisme dagang Inggris.
Kapitalisme modern masuk ke Nusantara juga tidak seperti terjadi di Eropa pada masa Revolusi Perancis abad 18. Di Nusantara kapitalisme modern masuk melalui kolonialisme, tidak mengganti feodalisme melainkan memanfaatkannya sebagai jaringan dan budaya kerja. Karena itu di zaman pergerakan nasional bahkan hingga pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda 1949, para borjuasi komprador yang diuntungkan zaman Belanda tidak mau ikut. Banyak kalangan bangsawan juga masih bersikap wait and see. Para pemimpin pergerakan lebih banyak dari kalangan intelektual. Meski mereka sendiri umumnya juga berasal dari keluarga kalangan priyayi dan pedagang luar Jawa, tapi mereka merupakan kalangan yang tercerahkan dan bukan dari keluarga yang terlibat jauh dalam sistem kolonialisme. Bung Karno, misalnya, meski ayahnya priyayi tapi berprofesi sebagai guru, bukan priyayi yang memiliki kedudukan tinggi.
Pada era 1950-an, melalui Program Benteng, Bung Karno dan Perdana Menteri Mohammad Natsir bermaksud mendorong tumbuhnya borjuasi nasional. Borjuasi nasional itu diharapkan menjadi marhaenis yang membangun ekonomi nasional berkeadilan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sejak awal melontarkan gagasan marhaenisme secara tertulis di Pengadilan Kolonial di Bandung pada 1930, Bung Karno menghendaki marhaenis, yakni mereka yang memperjuangkan kaum marhaen untuk mengangkat derajatnya, baik para pengusaha, intelektual, para pegawai kelas menengah, dan sebagainya. Gagasannya merujuk pada cita-cita tumbuhnya masyarakat ekonomi dan politik yang berorientasi kerakyatan, dalam arti semua golongan berjuang bersama untuk keadilan dan kesejahteraan sosial.
Namun Program Benteng disalahgunakan. Para pemburu rente memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan dengan cara monopoli, jual-beli lisensi, dan praktik bisnis bermodal kedekatannya dengan kekuasaan. Mereka bersinergi dengan kapitalis birokrat (kabir) yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan melayani pemodal, kaki tangan asing, memanipulasi anggaran negara, suap, pungli, hingga menjadi centeng berseragam.
Para pemburu rente dan kabir di Indonesia merupakan produk persilangan dari kolonialisme, kapitalisme, dan feodalisme.Â
Pengusaha pemburu rente dan kabir menjadi benalu sejak 1950-an dan semakin berkembang pada era Orde Baru dengan pola tersentral di lingkaran Soeharto dan kroninya. Di zaman reformasi Mei 1998, para pemburu rente dan kabir tidak tersentral lagi, tapi bukannya hilang melainkan menyebar sampai ke pelosok dengan memanfaatkan otonomi daerah. Banyak politisi era reformasi mei 1998 lahir dari kalangan ini. Mereka juga memainkan peranan penting dalam Pemilu Legislatif, Pemilihan Kepala Daerah, hingga Pemilihan Presiden.