Mohon tunggu...
Acep Firmansyah
Acep Firmansyah Mohon Tunggu... -

Ikhtiar Membuat Jejak Amal Shaleh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa dengan Dilan?

12 Februari 2018   09:42 Diperbarui: 12 Februari 2018   10:18 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: facebook.com/sibedil.komik

"Rindu itu berat, kamu takkan kuat, biar aku saja". Pernah dengar kata-kata ini?. Jika "Ya" berarti anda sudah kenal dengan sosok bernama Dilan yang menjadi tokoh dalam sebuah novel yang berjudul "Dilan 1990". Adalah sebuah novel karya Pidi Baiq bergenre drama romantis mengisahkan kisah percintaan klasik ala tahun 90-an.

Semenjak novelnya beredar luas di tahun 2014, baik seri pertama ataupun ketiganya, novel ini cukup populer khususnya di kalangan remaja, hingga kemudian di angkat ke layar lebar dan tayang di awal tahun 2018 ini.

Novel tersebut menyedot banyak perhatian tidak hanya dari kalangan remaja sebagai pembaca yang paling dominan dari novel tersebut, sebagai buktinya jika kita sering jalan-jalan ke toko buku semisal Gramedia dan menanyakan kepada kasir tentang siapa rata-rata pembeli dari buku tersebut, maka si mba kasir akan menjawab bahwa para pembelinya adalah rata-rata anak-anak usia SMP atau SMA. 

Namun kalangan yang lebih tuapun tidak mau ketinggalan banyak pula mereka menikmati sajian novel tersebut, terlebih generasi yang mengalami betul masa SMA di tahun 90-an bisa jadi sebagai ajang nostalgia mengingat kembali drama percintaan yang pernah di alami di masa-masa tersebut. Terbukti saat launcing film di bioskop beberapa waktu yang lalu, saya melihat di sosial media semisal twitter hastag #dilan cukup viral di perbincangkan untuk sekedar curhat, mereview bahkan membuat quotes plesetan, dan diantaranya adalah orang-orang dewasa.

Pro kontra tentang novel tersebut cukup santer terdengar, baik yang berkaitan alur ceritanya ataupun tentang sosok Dilan itu sendiri, mengingat novel tersebut diangkat dari kisah nyata yang di alami sang penulis, satu diantaranya tentang tuduhan adanya muatan faham Syiah pada beberapa adegan/percakapan di novel tersebut dimana untuk saat ini menjadi hal yang sensitif di kalangan masyarakat jika itu benar adanya. 

Meskipun memang pada generasi tahun 90-an isu Sunni Syiah saat itu bukanlah isu yang banyak di ketahui dan di perdebatkan, sehingga tidak jarang orang sunni (muslim sunni) banyak mengagumi sosok Khomaeni sebagai sosok revolusioner yang mampu menggerakan dan mengubah Iran yang sebelumnya berada di bawah cengkraman Amerika menjadi Iran yang beraliran Islam, yang pada akhirnya kita mengetahui bahwa gerakan Islam di Iran itu beraliran Syiah. Begitupun tentang sosok Dilan ataupun penulisnya di novel tersebut bisa jadi memang benar punya keterkaitan dengan Syiah dan bisa pula tidak.

Pada kesempatan kali ini sayapun akan mencoba menggali penomena Dilan dari sudut pandang yang berbebeda khusunya berkaitan dengan kalangan remaja yang saat ini paling dominan mengonsumsi novel dan film tersebut.

Kita tahu bahwa sebuah buku ataupun film pasti memiliki muatan dan nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya, dimana bisa mempengaruhi siapapun yang menjadi pembaca dan penontonya. 

Sebuah buku/film yang memiliki nilai-nilai positif tidak jarang mampu menggiring para pembaca/penontonya kepada nilai-nilai positif yang ada dalam buku/film tersebut, begitupun buku-buku/film yang bernilai negatif tidak jarang pula menjadi penggiring kepada ketergelinciran para pembacanya, baik dalam pola fikir ataupun pembenaran terhadap tindakan negatifnya.

Terkait novel/film Dilan yang kini di gandrungi oleh banyak kalangan khususnya remaja, saya punya pandangan bahwa buku/film tersebut tidak layak untuk di konsumsi baik kalangan remaja ataupun yang lainya, alasanya :

Pertama : Ekspresi cinta yang salah kaprah.

Seperti kebayakan novel serupa, bumbu-bumbu kisah percintaan adalah nilai yang biasa di jual untuk menyedot antusias para pembaca, seolah jika tidak ada hal tersebut sebuah novel bahkan film tidaklah dianggap menarik.

Sebenarnya tidak masalah jika sebuah novel/film mengangkat tema percintaan di dalamnya terlebih untuk edukasi seperti novel-novel karya Habiburahman El-Shirazy, novel-novel beliau hampir semua memiliki unsur drama percintaan namun semua di balut dalam koridor syar'i sesuai dengan adat ketimuran kita, sehingga menjadi sebuah bacaan yang bergizi jika kita mengkonsumsinya.

Namun menjadi masalah jika sebuah novel/film mengangkat tema utama tentang percintaan tanpa memperhatikan koridor-koridor syar'i sehingga pada akhirnya menggiring para pembaca/penonton kepada kebolehan mengekspresikan cinta yang bebas tanpa batas, membebek budaya  barat yang memang sudah liberal tidak mengenal bagaiman konsep ketuhanan dalam system kehidupan termasuk dalam urusan percintaan.

Terlebih masyarakat kita pada umumnya memang menganggap bahwa budaya percintaan diluar pernikahan atau dalam nama lain budaya pacaran, adalah sebagai hal lumrah dan biasa, padahal gelombang kehancuran moral salah satunya di sumbang dari hal tersebut. Seks bebas, hamil di luar nikah, bahkan HIV adalah produk dari sebuah budaya bernama pacaran.

Kedua :  Miskin nilai positif.

Sisi negatif terkadang menjadi daya tarik bagi sebagian orang yang kurang faham dan lemah iman, sehingga tidak jarang sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan begitu banyak peminat dan penikmatnya, sepertihalnya video porno, survei yang dilakukan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke-2 di dunia sebagai pengakses video porno terbanyak setelah Amerika. Sungguh sebuah prestasi yang memilukan.

Terlalu jauh memang jika mengaitkan penomena Dilan dengan fakta bahwa indonesia adalah sebagai penikmat video porno terbesar ke-2 di dunia, namun diantara keduanya memiliki simpul yang sama, satu gerbang yang sama untuk menuju kerusakan moral generasi bangsa khususnya para remaja. 

Penomena Dilan menghasilkan pembenaran terhadap fantasi cinta yang dimiliki para remaja kemudian mengekspresikanya tanpa tahu batasan dan aturan. Ujungnya seperti yang di katakan tadi bahwa transaksi seks bebas dan lainya bisa terjadi, dan semua bermula darisana.

Nilai positif yang kita anut tidak dilihat dari hukum positif yang kini berlaku di negri ini,  yang kadang bertabrakan dengan norma-norma yang ada, asal suka sama suka maka perzinahan tidak melanggar hukum, asal tidak mengganggu orang lain maka judi, minuman keras, bahkan narkoba menjadi legal. Nilai Positif yang kita anut adalah dilihat dari nilai-nilai ketuhanan sebagaimana agama kita mengaturnya.

Islam punya cara pandang tersendiri bagaimana mengekspresikan cinta terhadap lawan jenis. Ia hanya ada dalam bingkai yang sakral di ikat dalam sebuah janji suci pernikahan. Jika belum mampu maka syariat menentukan agar kita menahan diri dan memperbanyak Ibadah.

Masa remaja adalah masa produktif, tuntutan terbesarnya adalah fokus belajar dan menyiapkan diri untuk meraih masa depan terbaik. Jodoh tidak akan kemana, tiap orang sudah Allah takdirkan tentang siapa pasangan yang kelak akan menjadi jodohnya, tidak perlu sibuk menjemput dan mencoba mengekapresikan cinta sebelum waktunya, karena tidak akan mengasilkan kebaikan apapun selain berakhir dengan kehinaan.

Kesimpulanya

Dua hal diatas adalah segelintir diantara banyaknya hal yang mesti kita perhatikan tidak hanya berkaitan dengan penomena 'Dilan' tetapi juga bacaan/tontonan lainya yang memiliki kesamaan, kita mesti jeli melihat penomena yang ada, tidak lantas ikut latah mengekor kepada keadaan-keadaan yang sengaja di ciptakan. Islam punya ciri khas dan katakteristik yang perlu kita jaga, kelatahan kita terhadap sesuatu yang tidak bernilai hanya akan menghilangkan nilai-nilai keislaman itu sendiri.

Kaum remaja adalah aset bangsa yang harus kita lindungi dari kehancuran. Membiarkan mereka dalam keambiguan dan kebingungan terhadap penomena-penomena yang tidak menghasilkan nilai-nilai positif, sama saja kita menghancurkan negara ini secara perlahan.

Akhir kata, jika 'Dilan' berkata "Rindu itu berat, kamu takkan kuat, biar aku saja". Maka aku katakan " Hai Dilan, jangan maksiat. Dan jangan ajak orang utuk bermaksiat. Dosanya berat. Kamu gak akan kuat. Aku juga."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun