Mohon tunggu...
Nur Azis
Nur Azis Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar sepanjang waktu

Bercerita dalam ruang imajinasi tanpa batas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tunggu Aku di Stasiun Kereta

25 Desember 2018   09:01 Diperbarui: 25 Desember 2018   09:03 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh Nur Azis

Hari ini Sofia melangsungkan janji sucinya. Tidak denganku, tapi dengan Ardian, sahabatku sendiri. Bahkan dulu, waktu kami sama-sama kuliah di Semarang, aku dan dia satu rumah kontrakan. Aku paham betul siapa Ardian. Laki-laki ambisius, yang tekun dan selalu bekerja keras untuk meraih segala keinginannya.

Iya, termasuk keinginannya untuk menikahi Sofia, yang dia rebut dari aku. Wanita terindah, yang kehadirannya selalu membuatku seperti di tengah-tengah taman nirwana. Pandangan matanya, indah sekali seperti purnama di malam yang penuh bintang.

Bukan baru kemarin aku menjalin asmara dengan Sofia. Sudah sangat lama, kurang lebih empat tahunan, sejak kami sama-sama masih dibangku kuliah. Persis, aku, Ardian dan Sofia dulu kami bersahabat.

Tapi entahlah, perasaan itu muncul dengan sendirinya. Aku mencintai Sofia, pun dia juga mencintaiku. Memang setelahnya, ada yang sedikit berbeda dengan sikap Ardian, tapi menurutku bukan karena dia juga mencintai Sofia. Nyatanya anggapanku salah. Dia sama sepertiku, Ardian juga suka dengan Sofia.

Sama halnya dengan hubungan asmara yang lain. Tentu tak selamanya berjalan indah. Pasti ada kerikil-kerikil yang sesekali menghalangi langkah kita. Bukankah itu sudah biasa. Demikian juga hubunganku saat itu dengan Sofia, ada pertengkaran kecil dan salah-salah paham semua masih bisa kita atasi bersama.

Namun tidak saat itu. Sofia benar-benar marah. Kalung emas yang ada ukiran namanya dan namaku dalam liontin berbentuk hati, yang aku hadiahkan di hari ulang tahunnya, di lempar keras kemukaku. Tak pernah kulihat dia semarah ini.

Sofia memakiku. Mengataiku laki-laki keparat. Dia bilang, bahwa aku telah mengkhianati kesetiaannya. Aku benar-benar bingung. Tak ada hujan tak ada badai tiba-tiba di marah seperti kesetanan. Sampai-sampai, aku tak diberikan kesempatan untuk membela diriku, atau sekedar mengkonfirmasi apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Setelahnya dia menangis. Ingin aku memeluknya, mengusap air mata di pipinya. Tapi tak mungkin, aku seperti sebuah monster jahat di hadapannya. Di sofa putih samping meja tamu, dia sandarkan tubuhnya. Seperti melepaskan nafas yang lama dia tahan.

Terus, isak itu tak mau berhenti. Aku hanya terdiam, bingung, masih belum bisa memahami apa yang sedang terjadi. Setan apa yang sedang merasuki kekasihku. Hingga dia ambil handphone dari sakunya. Dia lemparkan kepadaku. Untunglah, aku cukup sigap untuk menagkanya.

Dengan nada membentak, dia memintaku melihat konten di handphonnya. Aku turuti keinginannya. Ada fotoku, itu aku dengan Lidya teman sekantorku. Aku masih belum sepenuhnya percaya, tidak mungkin aku seranjang dengan Lidya. Aku merasa tidak pernah berbuat itu. Pun dengan Sofia, aku juga tidak pernah melakukan hal yang sangat tidak pantas itu.

Nafasku naik turun. Di hadapannya, aku membantah. Aku tidak seperti yang ada di foto itu. Aku tidak pernah tidur seranjang dengan perempuan yang tidak halal bagiku. "Kau tentu tahu siapa aku Sofia, kau mengenaku tidak baru kemarin"

"Iya, mungkin, selama ini aku terlalu buta untuk melihatmu dengan sebenar-benarnya. Tidakkah foto itu dirimu, menikmati dosa dengan pelacur murahan yang kau tiduri itu ?"

"Tidak, tidak Sofia, tidak seperti yang kau bayangkan. Demi Tuhan Sofia, aku tidak melakukannya"

"Oh... kami masih bisa menyebut Tuhan? Kau masih punya Tuhan?" dia rampas Handphonnya yang kupegang. "Lihat ini, kau tak jauh beda dengan binatang paling najis di muka bumi ini"

Sofia langsung pergi. Meninggalkan aku sendiri. Aku merasa, ada yang sengaja memfitnahku. Aku ingat, itu saat ulang tahun Meida. Iya, itu di apartemen Meyda. Ada aku, Lidya dan beberapa teman yang lain. Ardian juga ikut di sana. Dia bersahabat juga dengan Lidya.

Malam itu, kami berpesta. Berjoget dengan lagu-lagu rancak yang membuat semua orang ingin menggoyangkan seluruh tubuhnya. Lagu-lagu yang tak pernah aku perdengarkan sebelumnya.

Lantas Meyda, menuangkan minuman dari botol berwarna kuning keemasan itu ke gelasku. Aku tidak mau, aku tahu itu bisa membuat aku seperti binatang. Tak bisa berpikir, hanya bisa menuruti semua keinginan nafsuku. Meyda memaksaku lagi, dan aku menolaknya lagi.

Hingga akhirnya, Ardian memaksa, demikian juga Lidya. Setetes saja kata mereka. Demi persahabatan lanjutnya. Benar-benar mereka telah menjelma menjadi iblis yang kabur dari neraka. Segala bujuk rayunya, nyatanya mampu menggoyahkan pertahananku. Demi persahabatan kataku, kutengguk minuman di gelasku.

Rasanya sungguh tidak ada enak-enaknya. Tenggorokanku seperti terbakar. Aku sungguh heran, mengapa orang-orang ini selalu saja menikmati minuman yang seperti ini. Minuman dari neraka itu, nyatanya terus ku tengguk. Hingga kepalaku terasa pusing, pandanganku sedikit buyar. Aku seperti setengah sadar.

Pagi-paginya, aku mendapati tubuhku terbaring di kamar Lidya, berselimut tebal. Namun ada yang tidak biasa, aku tidak mengenakan apa-apa kecuali celana dalam yang menutupi kemaluanku.

"Oh Tuhan, apa yang telah aku perbuat." Kuambil celanaku, yang tercecer di lantai.

Tak lama, Lidya keluar dari kamar mandinya, hanya handuk putih yang melilit di tubuhnya. Menutup sebagian dari tubuhnya. Sebagian dadanya kelihatan, juga betisnya. Bekas siraman air yang baru saja mengguyurnya, belum kering sempurna. Rambutnya yang panjang jaga basah, seperti habis di keramas.

"Kau sudah bangun Hans" kata Lidya.

"Iya Lidya, baru saja. Kenapa aku bisa tidur di sini"

"Biasa saja lah Hans. Kamu juga tidak berbuat yang aneh-aneh kepadaku. Semalam kau mabuk. Aku juga, Ardian dan juga yang lainnya. Tapi Hans, kau yang paling parah. Mereka takut kamu nanti pulang dengan kondisi seperti itu, nanti bisa-bisa malah menabrak pohon. Hehehe.... makanya mereka membiarkanmu tidur di sini"

"Oh syukurlah.... aku kira.."

"Kau kira kamu telah meniduriku ?, hahah tidaklah lah Hans. Meski aku mau-mau saja sih, tapi tidak mungkin. Betapa hinanya aku, menelikung Sofia, yang juga temanku sendiri."

Sungguh aku tidak mengira, jika peristiwa itu ada yang memotretnya. Hingga siapa saja yang melihatnya, akan berfikir, aku telah bersetubuh dengan Lidya. Jahat, Picik sekali orang yang telah melakukannya.

Termasuk Sofia. Dia mengira aku telah bersetubuh dengan Lidya. Entah siapa yang menunjukkan gambar itu padanya. Yang jelas, foto itu telah membuat Sofia membenciku. Kami bertengkar, dia menuduhku, dan aku terus bertahan dengan jawabanku. Bahwa aku tidak melakukannya.

Pertengkaran itu pada akhirnya membuat hubungan kami berakhir. Hatiku tersayat, bukan saja karena Sofia meninggalkanku. Tapi, di pergi untuk suatu fitnah kejam yang menimpa diriku. Saat seperti itu, aku membutuhkan orang yang mampu menguatkanku. Bukan malah pergi, menuduh dan meninggalkanku.

Lima bulan selanjutnya, Ardian tiba-tiba bertandang ke rumahku. Tak ada firasat apa pun dibenakku. Aku kira kedatangannya sebatas ingin melepas rindu denganku. Ingin berjumpa dengan sahabat lamanya, yang sudah beberapa bulan ini tak pernah bertemu. Ya, barangkali karena kesibukan pekerjaan kami masing-masing.

Dia sama denganku. Menjadi seorang design interior yang selalu menjadi andalan perusahaan. Kami ini sudah seperti asset bagi perusahaan. Berbagai fasilitas, tunjangan dan bonus selalu dia terima. Apalagi mendekati akhir tahun seperti ini. Bedanya, Ardian selalu menghabiskan uangnya untuk kesenangan dengan teman-temannya. Sementara aku, semua gajiku selalu mengendap di buku tabungan Bank milik BUMN.

Aku senang, dia masih mau mengunjungiku. Ardian memang pria masa kini. Pakaiannya selalu mengikuti trend yang ada, potongan rambutnya juga nampak seperti anak muda zaman sekarang.

"Minum apa bro ?" tanyaku.

"Sudah tak usah repot-repot. Aku tidak lama. Sudah duduk saja sini." Kata Ardian sambil menyilangkan kakinya.

"Baiklah.... " Aku segera duduk di sebelahnya.

"Hans, beberapa bulan ke depan aku akan menikah"

"Wow..... dengan siapa Ardian, kau tak pernah cerita bahwa kau sedang dekat dengan seorang wanita kepadaku. Dan sekarang kau memberiku kabar bahwa kau akan menikah."

"Aku akan menikahi Sofia"

"Sofia...."

"Ya Hans, Sofia yang dulu pernah menjadi kekasihmu"

Aku seperti melihat hantu di siang hari. Jantungku seperti berhenti berdetak, tak kuat menahan kabar yang begitu menghentak. Berkali-kali kutapuk wajahku, memastikan aku tidak sedang bermimpi siang ini.

"Mungkin ini tak mudah bagimu. Aku tahu, tapi sebagai sahabatku, aku ingin kau datang menyaksikan akad nikah kami"

"Tapi Ardian ....."

"Bukankah dulu kita pernah berjanji, akan selalu bersahabat apa pun yang terjadi. Dan kita juga saling berjanji, akan menyaksikan akad dari pernikahan kita masing-masing"

"Iya, aku ingat janji itu."

"So, kamu bisa hadir ?"

"Baiklah, atas nama persahabatan. Yang barangkali pengertian tentang sahabat itu, berbeda pemahaman antara aku dan kamu."

"Hehe... memang apa arti sahabat menurutmu ? Apakah bersahabat itu selalu membuat teman satu kosnya selalu menjadi yang nomor dua, kau selalu menjadi penghalangku Hans. Apakah kau tahu, bahkan teman-teman kerjaku, mereka selalu saja membandingkan aku denganmu. Apa itu yang kau sebut dengan persahabatan ? Hans, karena kamu, semua orang selalu menganggapku tak pernah lebih baik darimu."

"Ardian, aku tak pernah menganggapmu sebagai rival, atau sebagai saingan, tidak pernah Ardian. Itu hanya penilaian mereka, dan jika kau dengarkan mereka maka persahabatan kita yang menjadi taruhannya"

"Ah, sudahlah Hans, aku tak mau berdebat. Ini undangan untuk kamu." Ardian memberikan undangan pernikahannya itu kepadaku.

Melihat nama Sofia tertulis di undangan pernikahan warna merah muda itu, hatiku benar-benar kalut. Rasanya seperti di tusuk-tusuk dengan pisau yang sangat tajam.

"Baiklah Hans, aku harus segera pergi, ada janji dengan Sofia. Aku menunggu kedatanganmu"

Bukankah seorang sahabat itu adalah sebagian dari jiwa kita. Saat kita sedih, seorang sahabat tentu akan merasakan pedih juga. Dia akan datang untuk menghibur, hingga sahabatnya bisa kembali tersenyum. Dan senyum itu, akhirnya akan kembali kepada dirinya.

Lantas, masih pantaskah Ardian kusebut sebagai sahabat. Nyata-nyata dia menganggapku sebagai saingannya. Ternyata, sudah lama dia menganggapku seperti itu. Bahkan, Sofia yang dulu adalah kekasihku, pun akan dia nikahi. Tidakkah dia memperhatikan hati sahabatnya ini?

Aku coba untuk menguatkan hatiku. Meski remuk, tapi janji adalah sesuatu yang harus aku penuhi. Termasuk berjanji untuk menyaksikan pernikahan Ardian.

Beberapa bulan kemudian, pesta itu benar-benar terjadi. Pesta pernikahan Sofia dengan Ardian. Pesta yang akan membuat semua orang berbusana terbaiknya, dengan pasangannya, penuh tawa dan kebahagiaan. Tapi, mungkin tidak denganku.

Di rumah itu, ada tenda besar berwarna putih. Janur kuning, melengkung di depannya. Berjejer wanita-wanita cantik berbusana adat jawa. Penuh senyum dan tawa, mereka bersiap menyambut kedatangan para tamu undangan.

Tamu-tamu itu telah datang. Mereka menempati kursi berlapiskan kain berwarna putih yang telah di susun rapi berjajar. Mereka nampak cantik dan tampan. Mereka adalah sanak saudara dan teman. Namun aku tidak melihat Lidya. Iya, bukankah dia juga teman Ardian. Tapi kenapa dia tidak hadir di hari bahagianya.

Musik beralunan lembut menyambut kedatangan kedua mempelai. Semua mata tertuju kepada dua orang yang akan saling berikat janji. Aku terus memperhatikan wajah Sofia. Tak seperti dulu, seperti ada beban yang dia tahan. Senyumnya yang indah hanya terlihat sesekali.

Aku terus memandanginya dari balik tempat duduk tamu undangan. Hingga ijab kabul di lakukan di depan penghulu. Nyawaku seperti mau melayang, aku tak berani memandang. Air mataku, sekuat tenaga aku tahan. Aku tak mau orang-orang melihatku dengan kondisi seperti itu di pesta yang penuh kebahagiaan. Aku tidak mau merusak pesta itu.

Aku benar-benar tidak kuat mendengarkan ikat janji setia itu. Aku lebih memilih untuk menutup telingaku. Hingga acara ijab kabul itu dapat di lalui Ardian dan Sofia dengan sempurna. Mereka telah sah, menjadi pasangan suami istri.

Mereka berdua duduk dipelaminan. Sofia sangat cantik sekali dengan gaun putih yang dia kenakan. Dia tidak tahu keberadaanku. Sofia juga tidak mengabariku bahwa dia akan menikah dengan Ardian.

Semua orang menyalami kedua mempelai. Memberikan ucapan selamat menempuh hidup baru. Ku kuatkan hatiku, aku melangkahkan kaki yang terasa sangat berat ini untuk memberikan selamat seperti yang lainnya.

Sofia terperanjat melihat kehadiranku. Bibir indah itu hampir saja terbuka untukku, namun genggaman erat tangan Ardian membuatnya untuk mengurungkannya. Aku tahu dia gusar melihatku, walau bagaimanapun ada banyak kisah antara aku dengannya yang tak mudah begitu saja dilupakan.

Aku menyalami Ardian. Kuucapkan selamat kepadanya. "Kali ini, sungguh kau telah mengalahkanku." Demikian bisikku kepadanya. "terima kasih sahabat" jawabnya.

Di depan Sofia, kujabat tangannya. Dingin sekali. Masih halus seperti yang dulu. Kepadanya juga kuucapkan selamat.

"Semoga menjafi keluarga sakinah, mawaddah dan rohmah" kataku.

"Terima kasih Hans, sudah mau datang. Maafkan aku" jawabnya.

Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku tahu, bagaimana dia berusaha kuat menahannya. Kulepaskan jabatan tangannya, tak terasa air mataku tumpah. Pun Sofia, dia sempat berpaling dari tamu-tamu yang memberikan ucapan selamat.

Sofia telah meruntuhkan hatiku. Aku tidak mampu menahan rasa rapuh yang hampir saja merobohkan seluruh jiwaku. Hari ini, jam sebelas malam nanti dengan kereta malam kelas eksekutif, Aku akan pulang ke kampung halamanku. Ke sebuah desa di kota Surakarta.

Pesta pernikahan telah usai. Tamu-tamu sudah mulai meninggalkan tempat jamuan yang di dominasi warna putih itu. Ardian mengajak Sofia memasuki kamar pengantin mereka. Ya, kamar yang akan menjadi saksi bagi Sofia, dia akan menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada Ardian.

Sofia duduk di tepi ranjang pengantin. Ranjang itu di penuhi bunga mawar merah yang bertaburan di atasnya. Aromanya semerbak, harumnya menyebar hingga ke seisi ruangan. Pengantin baru itu, terlihat melucuti aksesoris yang menempel di tubuhnya.

Ardian terlihat masuk ke kamar mandi. Agak lama dia di dalam. Sofia beranjak dari ranjang yang harum itu, dia melihat-lihat hiasan yang tertempel di dinding kamar. Ada foto, lukisan, dan beberapa hiasan minimalis yang menempel di dinding kamar.

Ada sebuah kamera DSLR di atas meja. Tanpa minta izin pada suaminya, dia buka galery pada kamera itu. Ada foto-foto ulang tahun Lidya. Mereka sedang berpesta dengan berjoged. Botol-botol minuman keras, juga tak luput dari jepretan kamera itu. Terus, satu persatu dia buka gambar yang tersimpan.

Hingga dia menemukan, suatu foto yang sepertinya tak asing di ingatannya. Iya, foto Aku dan Lidya di atas ranjang. Dia buka lagi, banyak sekali, dengan berbagai angel pengambilan gambar. Sofia mulai curiga. Kenapa gambar-gambar itu semua, yang ditunjukkan oleh Meyda kepadanya ada di kamera tersebut. Kamera yang tergeletak di atas meja tempat tidur Ardian.

Seketika, logika Sofia menemukan. "Hans tak pernah melakukan hubungan seranjang dengan Lidya. Dia di jebak oleh Ardian dengan foto rekayasa itu. Kemudian foto-foto itu dikirim kepadaku. Hingga aku menuduh Hans telah berbuat hina mengkhianati diriku."

Dengan menenteng kamera, Sofia menggedor pintu kamar mandi.

"Ardian.... buka pintunya. Cepat kau keluar."

Tak lama Ardian keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya terbalut handuk setengah badan. "Ada apa Sofia." Matanya sekilas melihat kamera yang di tenteng Sofia.

"Ardian, apa maksudnya semua ini ?" Sofia menyodorkan kamera itu ke arah Ardian.

"Sofia...."

"Cukup Ardian. Kamu benar-benar bangsat" Sofia melempar kamera itu ke arah Ardian.

"Aku bisa jelaskan semuanya Sofia."

"Tidak ada yang perlu di jelaskan. Kau telah memfitnah Hans. Kau telah menghancurkan hubunganku dengan Hans" Suara Sofia meninggi.

"Sofia, aku bisa mencintaimu melebihi dari pada Hans"

"Cukul Ardian, Cukup...... Kamu benar-benar orang yang paling jahat. Ya Tuhan.... betapa jahatnya aku, kenapa aku lebih percaya kepada bangsat itu daripada kepada Hans." air mata Sofia membanjiri wajahnya.

Ardian meringsut di depan Sofia. "Maafkan aku Sofia, Aku melakukan semua ini karena aku sangat mencintaimu"

Sofia segera bergegas melangkahkan kakinya meninggalkan Ardian. Laki-laki itu mencoba menahannya, tapi kali ini Sofia terlalu kuat. Sofia berlari, sambil menahan isaknya, meninggalkan rumah Ardian.

Malam itu, menggunakan mobil Ardian yang terparkir di garasi dia menuju ke tempat kontrakanku. Dia injak pedal gas mobil dengan kuat, hingga mobil itu melaju dengan cepat. Melintasi jalanan yang malam itu masih ramai.

Sampailah Sofia di rumah kontrakanku. Namun rumah itu gelap, tak berpenghuni. Dia mengetuk pintu rumah itu, berkali-kali, namun tak kunjung ada jawaban . Dia coba menghubungi nomor handphonku, tapi memang kebetulan sedang tidak aktif.

Seorang Ibu-ibu penghuni rumah sebelah kontrakanku, kebetulan keluar rumah. Dia melihat Sofia sedang mengetuk pintu kontrakan itu, segera dia menghampiri Sofia. Kepadanya, ibu-ibu itu mengatakan "Hans telah pindah dari kontrakan itu, katanya, mulai hari ini Hands akan pulang ke kampung halamannya. Dan saat ini mungkin sedang berada di stasiun kereta."

Tidak berlama-lama, Sofia segera pamit. Dia langsung menuju ke stasiun. Jalanan masih ramai, banyak kendaraan lalu lalang di jalanan, tapi Sofia, tetap menginjak gas mobil yang dikendarainya lebih dalam.

Sampailah Sofia di stasiun kereta. Dia segera berlari menuju ke tempat penumpang. Di depan ada petugas yang memeriksa identitas dan tiket penumpang. Sofia tertahan, dia tidak boleh masuk oleh petugas. Dia bukan penumpang, tidak membawa kartu identitas maupun tiket kereta.

Sofia terus memaksa. Dia menyampaikan, minta waktu sebentar saja untuk bertemu seseorang. Tapi, petugas itu sangat disiplin. Dia tetap tidak mengizinkan Sofia masuk. Kali ini Sofia memaksa, dengan mendorongkan tubuhny ke arah pintu masuk. Namun petugas itu terlalu kuat pertahanannya.

Hingga terjadi adu mulut, antara Sofia dan petugas stasiun. Semua pandangan para penumpang tertuju pada keramaian itu, demikian juga Aku. Dia memperhatikan keributan itu dari tempat duduk penumpang. Sofia seperti memberi kode, dia meneriakkan "Hans... Hans... ini aku Sofia." Tubuhnya sambil di tahan petugas.

Aku segera berdiri. Aku seperti mendengar ada suara yang memanggilku. Suara yang tak asing di telingaku. Ketika aku melihat ke arah keramaian itu, benar saja. "Bukankah itu Sofia" pikirku. Aku kemudian berlari ke arah Sofia. "Sofia.... Sofia....." Suaranya, membuat petugas kehilanga pertahanannya. Sofia terlepas, dan berlari menuju kepadaku.

Kami bertemu dalam haru, Sofia langsung memeluk tubuhku. Dia menangis sejadinya. Tak mempedulikan orang-orang di sekitarnya, apalagi petugas yang tadi menghalanginya.

"Sofia.... " Aku menyeka air mata Sofia dengan tangan kananku.

"Maafkan aku Hans"

"Maaf ? Maaf untuk apa Sofia ?"

"Foto itu Hans, foto kamu dengan Lidya. Itu ternyata akal-akalannya Ardian. Dia yang merencanakan semua itu. Di ingin memisahkan kita, dan sialnya, aku lebih mempercayainya daripada kamu. Maafkan aku Hans"

Aku, kembali memeluk Sofia. Tanganku mengelus-elus kepalanya. "Aku sudah memaafkan kamu Sofia, aku mencintaimu"

Sementara itu, di sudut yang lain terdengar suara dari petugas stasiun bahwa kereta jurusan Surakarta akan segera berangkat. Seluruh penumpang diminta bersiap-siap.

"Sofia, pulanglah. Kembalilah pada Ardian....."

"Tidak Hans, aku tidak mungkin melanjutkan pernikahanku dengannya"

"Iya Hans" Suara itu. Membuat Sofia dan Aku langsung memalingkan pandangan. Kami terkejut, Ardian telah berdiri di samping kami.

"Hans, aku tak mungkin hidup dengan seseorang yang hatinya selalu untuk orang lain. Ya, aku tahu. Sofia tak mungkin bisa menerimaku. Hati Sofia hanya untukmu. Hai Sofia, mulai detik ini, aku talak kamu sebagai istriku."

Ardian langsung membalikkan badannya. Dia meninggalkan Sofia dan Aku.

"Hans..... Aku sangat sayang sama kamu"

"Iya Sofia, aku pun sama. Tapi keretaku sudah tiba. Aku harus pulang, nanti sebulan lagi. Kau tunggu aku di stasiun ini"

Kami kembali berpelukan sebelum kereta malam itu membawaku ke kampung halaman.

Jepara, 5 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun