Sebagai orang Tuban dan asli putra daerah yang lahir di pelosok desa bagian timur Kabupaten Tuban, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamongan. Awalnya saya biasa-biasa saja menanggapi polemik terkait kabar heboh patung Dewa Perang Cina Kwan Sing Tee Koen alias Kwan Kong di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban.
Lha mau bagaimana tidak biasa-biasa saja. Lha wong orang Tuban memang merasa tidak ada masalah apa-apa dengan polemik tersebut. Orang Tuban damai-damai saja. Adem, ayem-tentrem. Warna kopi di depan klenteng di sepanjang Jalan RE. Martadinata itu juga masih hitam. Belum berubah warna. Dan, jika tanpa gula rasanya juga masih pait. Tidak ada manis-manisnya sama sekali, seperti wajah patkai dan wucing.
Namun, setelah banyak warganet yang ikut cawe-cawe polemik patung yang akrab disapa Kongco tersebut. Maka saya pun harus turun barbel tangan. Memberikan kabar yang sebenarnya kepada semua jamaah net.
Pertama, dan yang sangat perlu saya kabarkan kepada kaum media sosial adalah rasa syukur. Kenapa? Sebab, hingga saat ini di Bumi Wali-sebutan Kota Tuban masih dalam kondisi aman. Tidak seramai seperti yang ada di jejaring sosial.
Sehingga, akan terligat wagu jika ada yang menyeret polemik patung dengan tinggi 30 meter ini ke-arah persoalan politik. Leih-lebih pada Suku Agama dan Ras (SARA). Lebih-lebih menjadi trademark kota Tuban. Apalagi sampai mengalahkan pamornya Mbah Bonang.
Jadi, tenang saja. Tuban tetap melekat dengan nama Mbah Sunan Bonang. Tidak mungkin para peziarah Sunan Bonang pindah haluan ke Klenteng gara-gara trademark yang tidak jelas tersebut.
Kedua, patung Kongco dinilai melecehkan masyarakat Tuban. Sebuah agitasi yang tidak memiliki dasar. Tapi saya menanggapinya dengan enteng. Mungkin mereka yang mengatakan seperti ini hatinya sedang galau. Bisa saja habis diputus pacarnya. Atau belum gajian. Atau bisa juga merupakan pelampiasan kekecewaan atas cintanya yang selama ini selalu kandas.
Perlu saya sampaikan dan perlu saya tekankan kepada semua pembaca. Hampir setiap sudut warong kopi yang ada di Tuban ini saya hafal. Bahkan, warong mana saja yang bisa di-bon, dibayar setelah gajian, saya juga haffal (pakai dua fa' agar lebih ada meyakinkan). Tidak ada satupun penghuni warong yang mayoritas agamannya juga Islam itu merasa dilecehkan.
Sebaliknya, mereka malah geli jika ada isu tidak bertanggungjawab yang seakan mengatasnamakan Islam tersebut. Sebab, mereka tahu betul, bawah patung yang menghabiskan dana sekitar Rp 2,5 miliar ini hanya sekadar hiasan klenteng. Tidak lebih hanya simbol. Dan, kita yang hidup di Tuban juga tidak mempersoalkan itu. Kita tetap hidup berdampingan, saling menghargai sesuai dengan keyakinan kita masing-masing. Kita tetap Pancasila dan NKRI harga mati. Hidup gotong royong.
Sekali lagi saya tekankan: kita, utamanya saya sendiri, warga Tuban tidak merasa ada persoalan.
Ketiga, mestinya jika kita berfikir positif. Keberadaan patung yang mencatatkan namanya di-Muri sebagai patung tertinggi se-Asia Tenggara ini bisa menarik wisatawan mancanegara. Lha wong tingginya saja se-Asia Tenggara. Sehingga, sudah barang tentu membikin penasaran umat Konghucu se-Asia Tenggera. Bahkan, umat non Konghucu sekalipun. Sudah barang tentu, kalau sudah penasran, mereka pasti datang ke Tuban untuk melihat dewa perang yang diresmikan Ketua MPR Dr Zulkifli Hasan tersebut. kalau sudah seperti ini. Wisatawan masuk Tuban. Siapa yang diuntungkan? Moshok sunggokong. Yo jelas sugeng (pedagang PKL).