Hujan masih tersisa. Bau tanah masih bisa terhidu. Kembang warna-warni masih terlihat kesegarannya.
Aku masih terduduk, membiarkan celana jeans basah di atas bebatuan yang kebetulan ada, merapalkan beberapa kata ke langit-langit untuk seseorang yang benar-benar berarti di depanku.
"Kamu harus mengejar mimpimu," begitu ucapannya yang masih tergiang, "kalau perlu kejarlah matahari sampai ia tenggelam."
Kuhela napas sejenak.
"Jadi laki-laki itu harus berani berjalan jauh. Sejauh-jauhnya. Biar kamu bisa melihat dunia dan bisa menceritakan untuk anak cucumu kelak."
Pesan itu seperti nyata saat ini, hanya saja yang kulihat hanyalah gundukan tanah dan bayang-bayang wajahnya.
"Bu, aku pamit," gumamku serasa meletakkan telapak tangan kanan di atas gundukan tanah.
Suasana sekililing terasa sepi Jika tidak hujan, mungkin akan ada beberapa orang yang juga akan menziarahi pekuburan ini. Ah, tapi itu hanya sedikit saja, jarang rasanya mereka dating saat menjelang sore.
Sayup terdengan suara orang mengaji dari kejauhan. Sebentar lagi sore akan ditelan malam.
Beberapa saat kemudian aku berdiri. Membersihkan beberapa butiran tanah yang menempel di celana dan sepatu. Mengambil Eiger 65 liter dan mulai berjalan.
Hanya beberapa langkah saja aku kembali menoleh. Melihat gundukan tanah di sana dan tempat ibu bersemayam. Ada doa singkat yang kemudian dirapalkan.
Tiba-tiba saja matahari sore bersinar lebih terang walau warna merah saga masih terlihat menjadi latarnya di sebelah barat.