Saya ingat betul, sebuah pesan singkat di aplikasi WA menawarkan apakah saya ingin memesan daging sapi untuk kebutuhan hari raya nanti. Tanpa berpikir panjang saya langsung memesan sekitar dua kilo kepada kawan yang menawarkan itu. Bagi saya, dan juga istri, pengalaman beberapa hari raya tahun sebelumnya membuat kami merasa kerepotan juga mencari daging segar.
Sebenarnya saat pesan menawarkan daging itu masuk ke gawai saya durasi jelang lebarannya terhitung masih lama. Padahal puasa belum lagi genap di sepertiga pertama atau 10 hari, namun pesan itu jelas-jelas seperti memberi pengingat bahwa "Biasanya daging mahal loh lebaran dan bisa langka," begitu kata teman saya, "ini kebetulan ada temen juga yang mau motong sapi dan mau dijual dagingnya. Pesan ya dan mau diantar kapan?"Â
dalam perspektif budaya juga saya menyadari bahwa lebaran atau Idul Fitri tidak hanya sekadar ibadah ritual belaka melainkan ada ibadah sosial di dalamnya. Salah satu produk budaya dari ibadah sosial itu menyangkut kuliner. Ada yang tidak lengkap kalau lebaran dilalui tanpa ketupat, opor, semur, dan (kalau di tempat saya) rengginang).
Tapi bukan itu yang menjadi kerikil kecil di benak saya. Bukan pula soal lebaran tanpa kuliner wajib tadi atau soal baju baru yang memang harus dipakai keluarga kecil saya. Satu hal yang menjadi pertanyaan setiap tahu adalah mengapa harga-harga selalu melonjak tinggi termasuk daging sapi. Juga, sudah tinggi kadang stoknya tidak ada lagi.
Nah, ketika ada informasi Kompasiana Nangkring ingin menggelar kegiiatan buka bersama Kementerian Perdagangan pada Rabu, 22 Juni 2016 di Anomali Coffee sekaligus sebagau ajang Review Kemendag tentang Ngobrol Daging Sapi, tentu ini adalah kesempatan langka. Kapan lagi saya bisa mengetahui a-z yang terjadi di balik daging sapi itu.
Sampai di hari-H, saya datang bersama beberapa rekan Kompasianer yang sudah saya kenal. Jam masih tersisa 30 menit lebih menjelang berbuka saat Menteri Perdagangan Republik Indonesia Thomas Trikasih Lembong atau biasa disapa akrab dengan Tom Lembong datang ke lokasi acara.
Diakui memang ada kelangkaan pasokan daging segar di tengah masyarakat dan distribusi yang tidak merata sebagai penyebab harga daging tinggi. Hanya saja pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan yang dinakhodainya tidak bisa langsung main impor daging sapi saja. Ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan masak-masak.
Menurutnya, kita tidak bisa secara mendadak membuka keran impor begitu saja ketika daging sapi langka atau mahal. Memang industri sapi seperti Australia bisa langsung memasok ketersediaan daging sapi di pasaran, tetapi apakah langkah itu harus memperhatikan ketersediaan dari industri lokal. Jangan sampai ketika dibuka keran impor daging menjadi banyak dan merusak industri lokal.
"Begitu juga untuk kebijakan ekspor. Kalau kita melarang atau menekan keran ekspor untuk industri lokal bisa jadi ketersediaan daging akan melimpah dan karena tidak didistribusikan bisa jadi akhirnya daging itu membusuk."
Industri sapi secara nasional, masih menurut lulusan Harvard tahun 2004 ini, tidak hanya melibatkan perusahaan dalam skala besar saja. Peternak-peternak lokal juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari rantai distribusi daging sapi. Nah, meski jumlah sapi di peternak lokal yang ada di pedesaan ini tidak banyak, akan tetapi jangan sampai langkah pemerintah melakukan stabilisasi harga daging sapi menekan bahkan mematikan peternak lokal.
"Stabilisasi harga daging semestinya melindungi peternak lokal," kata Lembong menegaskan. Â
Oleh karena itu, saat pemerintah melakukan ekspor atau impor selalu menjadi langkah terakhir setelah produksi tidak efisien. Melalui Kementerian Perdagangan dan berkoordinasi dengan institusi terkait pemerintah juga selalu berupaya melakukan swasembada daging sapi.
Lembong awalnya merasa bertanya-tanya juga ketika Presiden RI Joko Widodo menargetkan swasembada sapi memakan waktu sampai 10 tahun. Namun, setelah mempelajari lebih dalam ternyata ada rantai produksi, distribusi dan juga kebijakan yang harus secara bertahap dilakukan.
Swasembada daging sapi juga memerlukan investasi yang tidak sedikit. Investasi itu digunakan sebagai modal untuk membangun, antara lainnya, sarana pemotongan hewan modern.
Di luar kebijakan itu, suami dari Franciska Wihardja ini menyatakan bahwa kenaikan maupun kelangkaan daging sapi itu secara periode biasanya terjadi pada saat menjelang hari raya Idul Fitri. Pada saat itu ada kenaikan konsumsi masyarakat terahdap daging sapi segar.
"Menjelang lebaran banyak masyarakat yang mencari daging sapi segar di pasaran," demikian kata Lembong menjelaskan.Â
Kebutuhan yang meningkat ini, lanjutnya, jika tidak dibarengi dengan pasokan yang tersedia di lapangan menyebabkan ketersediaan berkurang dan langka. Namun patut dicatat bahwa konsumsi daging sapi segar yang banyak ini secara nasional biasanya hanya terjadi di wilayah Jadebotabek dan Jawa Barat saja. Â Dua wilayah itu tercatat sebagai konsumen terbesar daging sapi segar.
Kondisi ini menyebabkan pemerintah melalukan operasi pasar untuk menekan harga daging sapi segar agar tidak melonjak lebih tinggi. Melalui siaran persnya, Kemendag  menghadirkan pasar murah untuk membantu masyarakat mendapatkan bahan pokok termasuk harga daging sapi segar seharga Rp80 ribu per kilo. Selama sepuluh hari, mulai 15-28 Juni 2016, bertempat di lapangan parkir kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Kemendag menghadirkan 60 stan yang menjual berbagai bahan pokok di bawah harga pasar.
Meski ada beberapa langkah lainnya seperti dengan memperpendek masa pemotongan sapi, membuka keran impor atau bahkan secara ekstrem merubah regulasi yang ada, namun tetap saja apapun solusi yang diambil haruslah berskala nasional.
"Waduh, Yah, harganya gak kira-kira."
"Masak 20 ribu saja dapat segini."
"Di mall juga lebih murah tapi adanya daging beku."
Begitu kira-kira komentar orang rumah setiap kali berencana memasak daging. Saya yang memang jarang masuk pasar dan berbelanja awalnya memang sedikit tidak peduli, toh, bukannya harga daging segar memang selama ini mahal bukan?
Tapi, kesadaran itu perlahan-lahan muncul. Saya pikir-pikir, kok, daging selalu saja mahal sementara kebutuhan atau orang yang mengonsumsinya selalu saja ada. Bukanya di luar negeri, pengalaman pribadi sebenarnya, harga per kilo jauh lebih murah... ini yang sempat melintas sejenak di benak saya. Lintasan itu memang terjawab kini.
Oke stop dulu lamunan kepala keluarga menjelang lebaran ini. Kita kembali fokus ke pemaparan Menteri Perdagangan...Â
Lembong juga menambahkan sebenarnya ada salah satu cara untuk menghindari kejadian kenaikan harga daging sapi segar ini tidak terulang kembali. Antara lain dengan pola konsumsi yang beralih dari konsumsi daging segar ke daging beku.
"Kebiasaan itu yang bisa diubah karena selama ini masyarakat seringnya mengonsumsi daging segar padahal dengan beralih ke daging beku jauh lebih murah dan juga lebih hiegienis," tambahnya.
O ya, tadi pagi saya diingatkan kembali melalui WA oleh teman saya yang menjual daging itu. Ia kembali bertanya kapan dagingnya mau dikirim. Ah... saya rasa ada sapi di lebaran di rumah saya nanti. Bentuknya tentu semur daging....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H