Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Mengkritik Kebijakan Impor Pangan di Era Jokowi

29 Januari 2019   20:19 Diperbarui: 29 Januari 2019   20:35 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya mulai dari beras. Data beras sejak 2015, total impor yang dilakukan pemerintahan Jokowi itu ada 4,7 juta ton. Kalau kita bandingkan dengan data impor beras selama pemerintahan Pak SBY, total impor di periode Pak SBY mencapai angka sedikit lebih tinggi 6,5 juta ton," katanya.

Pertanyaannya sekarang lanjut Alamsyah, apakah impor ini kemudian menjadi persoalan? Jawabannya sangat tergantung pilihan kebijakan masing-masing yang memerintah.  " Saya tidak tahu dalam tahun depan akan bertambah lagi. Kalau bertambah dia bisa remis, sama. Bisa lebih banyak," katanya.

Di sektor gula juga begitu, kata Alamsyah.  Untuk gula, di era pemerintahan yang lalu, total impor gula mencapai 12,7 juta ton. Tapi pada empat tahun periode pemerintahan Jokowi mencapai 17,2 juta ton. Jadi selisih lebih banyak pada pemerintahan  Jokowi yakni sebanyak kira-kira 4,5 juta ton. Ada peningkatan 4,5 juta impor gula.

"Jagung kelihatan pada periode pemerintahan Pak Jokowi tidak melonjak drastis. Tapi kita hati-hati, pada 2015 impor jagung subsidi pakan disubsidi dengan impor gandum. Jadi menurut saya pada dasarnya sama-sama impor," katanya.

Dan untuk garam, kata Alamsyah, impor garam di era pemerintahan sekarang masih jauh lebih tinggi dibandingkan pemerintahan yang lalu. Jadi bisa dikatakan, untuk 4 komoditi yang ia sebutkan skornya 3-1, kalau bicaranya siapa yang lebih banyak impor. Namun memang ada kendala yang di awal periode pemerintahan sekarang.

"Untuk beras, sepertinya pemerintahan begitu optimis mau menghentikan impor. Tapi satu tahun berkuasa baru disadari data produksi kita integritasnya rendah. Itu yang kemudian oleh BPS untuk beras pada 2015 dilakukan moratorium. Baru pada 2018 diketahui surplus beras," ujarnya.

Ditambahkannya, suka tidak suka kalau mau swasasembada pangan, pasti harga meledak. Dan ini akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Maka pemerintah pun mengambil keputusan untuk impor. "Pertanyannya apakah kebijakan tersebut sesuai target 3 tahun swasembada pangan? Menurut saya rencana tersebut kandas di tengah jalan," ujarnya.

Pembicara lainnya,  Azam Azman Natawijana mengatakan, di awal berkuasa, pemerintahan sekarang akan  akan menghapuskan impor beberapa komoditi. Setidaknya aada enam komoditas termasuk jagung, beras, garam, dan lain-lain yang tak lagi akan ada impor. Tapi makin lama sudut deviasinya kian jauh. Berputar 180 derajat dari apa yang disampaikan waktu itu.

"Kami melihat mafia ini dari berbagai sektor, dan berjalan sendiri-sendiri, ujungnya di perdagangan. Tidak berhasilnya pengelolaan komoditas pangan dan unggas. Di satu sisi yang bertanggung jawab terhadap pertanian mengatakan surplus. Tapi di sisi lain mengatakan tidak," kata Azam

Soal gula, Azam juga menilai pemerintah tidak punya data benar. Pembantu presiden pun tidak taat peraturan perundangan. Misalnya impor jagung akan masuk lagi.

"Menko  katakan ini permintaan mentan. Tetapi Mentan mengatakan kita surplus dan sudah ekspor ke Filipina. Tapi di satu sisi diamini untuk segera masuk. Mentan katakan jagung diserap pengusaha dan disimpan dalam gudang. Kemungkinan menunggu harga naik," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun