"Strategi ke kiri, kebijakan ke kiri, pengangkatan personalia ke kiri, padahal cita-citanya ke kanan. Tidak aneh hasilnya begini. Ini bukan hal luar biasa. Tapi kalau ada konsistensi antara cita-cita kedaulatan pangan, strategi dan personalia mesitnya kita jauh baik hari ini," kata Rizal.
Pertanyaannya sekarang lanjut Rizal, kenapa Presiden Jokowi pidatonya ke kanan, tapi hasilnya ke kiri? Jawabannya, karena  politik dipakai sebagai alat bagi-bagi kekuasaan. " Saya sih memahami tentu perlu koalisi, perlu macam-macam. Tapi minimal 10 menteri betul-betul ikut garis presiden. Profesional. Karena kalau tidak berulang lagi begini," kata Rizal.
Pada akhirnya rekam jejak kedaulatan pangan itu hanya slogan, kata Rizal. Hanya jadi alat kampanye. Bukan dihayati dari hati dan jiwa. Sebab kalau  kedaulatan pangan itu dari hati dan jiwa, pasti hari ini hasilnya lebih baik. Tapi karena hanya dijadikan slogan dan alat kampanye untukmenarik rakyat ini hasilnya, Indonesia  jadi importir terbesar.
"Saya enggak kebayang negara dengan 250 juta penduduk sangat tergantung dengan impor. Tak kebayang saya. Apa yang terjadi sesungguhnya? Ada kelangkaan yang benar-benar sesungguhnya terjadi. Misalnya lagi El Nino, panas luar biasa. Otomatis produksi beras kita turun 3 juta ton, ya kita harus impor. Saya juga gak ada masalah kalau betul-betul kelangkaan riil," tuturnya.
Tapi yang terjadi, kata Rizal,  birokrat yang merangkap pemain-pemain rente. Mereka  menciptakan kelangkaan semu. Dilebih-lebihkan kelangkaannya. Sehingga impornya pun dilebih-lebihkan. Misal impor garam dilebihkan sebanyak 1,5 juta ton. Petani garam di Jatim yang kena imbasnya.
"Harga garam tak laku dijual. Petani tebu dilebihkan impornya 2 juta ton. Gula petani tak laku, importir merangkap pedagang rafinasi pesta pora. Pejabat yang terima sogokan ini juga pesta pora. Total nilai impor berlebihan ini sekitar Rp 23 triliun. Dua kali anggaran kementerian pertanian," katanya.
Rizal pun berharap, presiden yang baru nanti menghentikan kebiasaan impor pangan dan sungguh-sungguh pro petani. Untuk itu perlu presiden yang modalnya bukan hanya slogan. Yang modalnya bukan hanya kampanye kedaulatan pangan, tapi sunggugh menciptakan kedaulatan pangan.
Dradjat Wibowo jadi pembicara penutup. Dalam paparannya, Drajad mengatakan untuk mewujudkan swasembada beras, mau tak mau harus cetak sawah baru. Tapi sawah yang dicetak di Sulawesi. " Suatu saat saya ketemu petani yang menanyakan satu pertanyaan sederhana, Pak Drajad kenapa orang-orang pintar, bikin sawah di luar Jawa yang tak subur sementara sawah di Jawa diubah?" Kata Drajad.
Pertanyaan petani di Jawa itu menurut Drajad, masuk akal. Karena mestinya yang diubah adalah kebijakan konversi sawah di Jawa." Â Saya rasa itu masuk dalam program swasembada pangan Prabowo-Sandiaga," kata Drajad.
Selain menambah areal sawah di Sulawesi, lanjut Drajad, Indonesia juga harus  mempertahankan areal sawah yang ada di Jawa. Bahkan produktivitas pertanian harus ditingkatkan. Dan inovasi pertanian harus  di beri reward.
" Kita banyak inovator-inovator yang menciptakan varietas-varietas baru. Entah itu di padi atau tanaman-tanaman lain. Tapi tak pernah kita berikan perhatian mereka. Prabowo-Sandi harus lebih memberikan perhatian kepada para inovator-inovator pertanian kalau kita ingin genjot produksi pertanian," katanya.