Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Saat Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, dan Rizal Ramli Ramai-ramai Mengkritik Jokowi

15 Januari 2019   21:06 Diperbarui: 15 Januari 2019   21:17 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peristiwa 15 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan peristiwa Malari adalah salah satu peristiwa bersejarah. Malari, adalah peristiwa demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa yang kemudian berujung pada kerusuhan sosial di ibukota negara, Jakarta. Peristiwa itu terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto. Kala itu, Indonesia kedatangan tamu negara yakni Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.

Kini rezim telah berganti. Peristiwa Malari pun telah lama berlalu. Untuk mengenang peristiwa itu, Seknas Prabowo-Sandiaga mengangkat peristiwa Malari jadi salah satu tema diskusi rutinnya yang diberi tajuk siskusi publik Topic of the Week.  Diskusi ini rutin digelar setiap hari Selasa. Dan pada Selasa, 15 Januari 2019, diskusi Topic of the Week mengambil tema, "Refleksi Malari: Ganti Nakhoda Negeri?".

Sederet narasumber pun dihadirkan. Narasumber yang dihadirkan semuanya kelas berat. Atau mereka adalah para tokoh yang sudah punya nama. Mereka yang jadi narasumber dalam diskusi bertema Malari 1974 adalah Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, mantan Ketua MPR Amien Rais, mantan Menteri Dalam Negeri,  Letnan Jenderal (Purn) Syarwan Hamid, dan mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli. Tampil di sesi pertama adalah Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid.

Menurut Nur Wahid, peristiwa Malari telah 45 tahun berlalu. Tapi peristiwa bersejarah itu masih layak untuk kembali direfleksikan sekarang. Peristiwa Malari adalah bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Seperti kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

"Maka ini (Malari) adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Sejarah yang penting dijadikan sebagai pembelajaran supaya tidak terulang kembali," katanya.

Waktu Malari meletus, lanjut Nur Wahid, para  aktornya adalah para aktivis dan mahasiswa. Mereka turun ke jalan untuk mengkritisi wajah kekuasaan yang kala itu dinilai terlalu tergantung kepada modal asing dan utang. Para mahasiswa ini, merasa jalannya pembangunan sudah mulai melenceng dari cita-cita pendiri bangsa, dimana cita-cita bangsa yang bisa berdikari, berdiri dengan kaki sendiri mulai memudar.

"Tapi dalam waktu bersamaan dilakukan politik yang represif terhadap rakyat Indonesia. Kita tahu bagaimana perisiwa itu disikapi sangat repesif oleh rezim, atau oknum negara. Operatornya ditangkapi," ujarnya.

Kata Nur Wahid lagi, peristiwa Malari menjadi sesuatu yang penting untuk kembali jadi bahan refleksi. Terutama di tahun ini, dimana akan ada pemilihan presiden. Dulu, para mahasiswa menjadi kelompok yang berani mengkoreksi jalannya pemerintahan. Padahal waktu itu, wajah kekuasaan begitu angker. Represif.

"Sekali pun represif tapi justru menghasilkan keberanian mahasiswa untuk keluar. Sekarang kondisinya rekan mahasiswa tidak seperti dulu melakukan aksi jalanan. Atau mereka mengira, sebagian prinsip kritis bisa dilakukan melalui jalur lembaga lain. Faktanya adalah berbeda, dengan kondisi 15 Januari 1974 yang lalu. Ada ketergantungan, ada juga mahasiswa.  Ada kondisi membuat Indonesia tidak bisa berdikari. Tetapi mahasiswa tidak berada di jalan. Mungkin mahasiswa kita menggantungkan pada wakil di DPR," tuturnya.

Menurut politikus senior PKS tersebut, yang bisa ditarik dari peristiwa Malari tahun 1974, sebagai bahan pelajaran adalah semangatnya. Semangatnya masih sama. Pun kondisi negara juga bisa dikatakan tak jauh berbeda. Ada  ketergantungan pada utang. Dan ini  sudah amat mengkhawatirkan bila diukur dari jumlah APBN setiap tahun. Bisa dikatakan,  Indonesia saat ini mengalami ketergantungan utang.

"Jadi ada kondisi ingin menghadirkan kritik dan perbaikan. Dulu dengan 15 Januari 1974, tidak terjadi perubahan nakhoda kepemimpinan, karena kondisi sosial politik berbeda. Sekarang rakyat diberikan pencerahan amat gamblang dan jelas. Kita hanya punya dua capres dan cawapres. Dari dua ini sudah amat sangat gamblang disampaikan Prabowo-Sandi. Sekarang melalui demokrasi, pergantian nakhoda boleh dan bisa dilakukan secara konstitusional," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun