Katanya, Pilkada DKI Jakarta ini pesertanya adalah yang terbaik. Ada petahana. Ada yang mantan menteri. Ada pengusaha sukses. Ada mayor tentara. Ada eks birokrat yang juga mantan none Jakarta. Harusnya dengan kontestan yang dinilai sosok terbaik, pesta politik di Jakarta bisa lebih menarik. Bisa bikin bergairah. Bisa membuat pemilih senang.
Tapi kok, saya tak merasa Pilkada DKI Jakarta ini menarik. Justru pemilihan Jakarta kali ini terasa kering. Sama sekali tak ada letup gairah untuk mengikutinya. Entahlah, mungkin ini penilaian subjektif saja. Toh, banyak juga kenyataannya yang begitu bergairah. Bahkan sampai marah-marah dan adu ancam.
Padahal saya membayangkan, Pilkada kali ini menjadi hajatan yang membuat kami senang. Membuat kami sejenak melupakan keruwetan hidup. Melupakan segala dera hidup yang sumpek. Melupakan tagihan kreditan rumah yang seperti kejaran setan. Melupakan tunggakan duit kontrakan. Pokoknya, Pilkada yang bisa membuat kami tertawa. Syukur-syukur bisa membuat kami ngakak. Pendek kata, Pilkada kali ini tidak menarik.
Menurut saya, ada dua hal yang membuat Pilkada Jakarta tak menarik. Apa saja itu?
Pilkada tanpa humor
Pilkada Jakarta kali ini tak menarik, karena kering tanpa humor. Calon-calon yang berlaga, nyaris tak pernah bisa membuat pemilih tertawa. Mereka memang blusukan. Mereka memang getol mengajak ngobrol. Tapi sekali lagi, tak pernah membuat yang diajak ngobrol tertawa lepas. Apalagi sampai ngakak.
Dalam situasi seperti ini, kami rindu pada Gus Dur. Bagi saya, mantan Presiden RI keempat itu, adalah pemimpin yang bisa membuat yang dipimpinnya tertawa. Tertawa itu penting bagi rakyat. Tertawa adalah obat mujarab untuk melupakan segala keruwetan hidup.
Ya kalau kita bisa tertawa, apalagi sampai ngakak, setidaknya itu mujarab melupakan kesumpekan hidup. Walau esok, kita akhirnya kembali ke kenyataan. Ke kenyataan, bahwa tagihan kredit motor telah jatuh tempo, uang sekolah anak harus dibayar, pemilik kontrakan sudah nagih duit sewa.
Karena itu, tolong berikan kami juga hiburan yang bisa membuat kami tertawa. Berikan kami lawakan-lawakan segar, agar wajah kami tak terus masam. Bukan kami kemudian mas dan bapak yang mau maju Pilgub itu pelawak. Bukan, bapak dan mas tetaplah calon pemimpin. Tapi tak ada salahnya bukan jika kami tertawakan.
Bukankah membuat orang tertawa itu dapat pahala? Tuhan yang membayarnya. Bukan KPU atau partai. Mosok tak tertarik 'bayaran' dari Tuhan.
Calon terlalu jaim
Hal lain yang membuat Pilkada kurang menarik, semua calon jaim. Terlalu ingin menampilkan sosok yang santun, teratur. Tapi bukan berarti kami juga ingin sosok yang marah-marah. Sungguh, hidup ini sudah bikin marah, jangan tambah lagi kami kian marah.
Karena yang saya cermati selama ini, Pak Anies misalnya, tak pernah saya melihatnya tertawa lepas. Pak Anies terlalu santun. Kami pun, agak segan untuk dekat dan adu guyon. Mas Sandiaga juga demikian, jarang terlihat ngakak. Kata-katanya sama santun dengan Pak Anies. Sama-sama teratur. Banyak retorika. Banyak bumbu, yang kadang kami bosan mendengarnya.
Cobalah membanyol sedikit. Bergurau, dan mendongeng kisah-kisah humor. Saya jatuh cinta pada Gus Dur, pertama karena kecerdasannya menjadikan humor sebagai alat untuk mendekatkan diri. Tapi, walau Gus Dur suka melawak, bukan berarti beliau kehilangan kecerdasannya. Tidak bukan.
Pak Ahok? Ah itu mah jangan diceritakan lagi. Kami agak malas membahasnya. Tapi, sekarang Pak Ahok agak pendiam. Mudah-mudahan dia sedang belajar untuk membanyol. Semoga Tuhan memberi hidayah. Hidayah rasa humor untuk Pak Ahok. Harapan kami pada Mas Djarot. Sebagai orang Jawa Timur, harusnya Mas Djarot bisa jadi seperti Gus Dur. Walau ya, tak mungkin melampuai maqom kyai tukang humor tersebut. Minimal, bisa seperti Kirun atau Cak Lontong.
Mas Agus juga demikian. Sosok tentaranya masih kental. Agak kaku, dan teratur. Agak mirip dengan ayahandanya. Cobalah Mas Agus belajar untuk humor. Belajar guyon dan tertawa ngakak. Sungguh, kalau njenengan bisa humor, kegantengan njenengan tak akan hilang. Tidak akan pudar. Justru itu akan jadi nilai tambah. Toh, pintar humor, tak akan membuat njenengan seperti Budi Anduk. Mas Agus ya Mas Agus. Mayor tentara yang gagah. Suami yang beruntung.
Bu Sylvia juga. Saya lihat, kok masih seperti birokrat banget. Bahasanya prosedural. Kata-kata dan kalimatnya, mirip dengan bahasa peraturan. Saya pikir cobalah untuk rubah sedikit. Sapa kami dengan banyolan. Dan yakinlah, karena bisa humor, bukan berarti kami lupa ibu adalah mantan none Jakarta. Tidak akan lupa, bu. Bahkan kami akan menilai ibu, sosok ibu yang punya nilai lebih. Masih cantik. Pintar. Tapi punya selera humor. Toh, rasa humor tak akan menghilangkan kecantikan ibu bukan?
Awalnya saya berharap Mas Ahmad Dhani bisa lolos jadi cagub. Setidaknya bila Mas Dhani jadi cagub, ada nuansa yang berbeda. Songong dan berpenampilan lain dari yang lain. Belum ada kan, calon gubernur dengan penampilan seperti Mas Dhani? Punya jambul yang menarik.
Selain Mas Dhani, saya juga tadinya berharap Pak Yusril Ihza Mahendra bisa ikut nimbrung bertarung. Pak Yusril, walau pernah jadi menteri sama seperti Pak Anies, tapi memulai langkah yang menarik ketika mulai 'merayu' warga Jakarta. Masih ingatkan baju Mickey Mouse Pak Yusril?
Kami tertawa waktu itu. Kami bisa sedikit ngakak. Kami senang. Tapi sayang, Pak Yusril gagal nyalon, walau sudah berkoar akan maju lewat Partai Demokrat, partai yang sekarang justru menyorong Mas Agus.
Ah, andai saja Pak Anies juga seberani Pak Yusril, tampil beda dengan baju yang bikin kami bisa tertawa. Belum pernah liat kan, Pak Anies pakai baju Mickey Mouse?
Mas Agus misalnya, sekarang punya baju 'kebesaran' dengan tulisan AHY. Mungkin mas Agus ingin mengikuti jejak ayahandanya, populer lewat singkatan nama. Tapi begini mas. Nuwun sewu jika saya kritik. Dengan memakai baju 'AHY', kok saya seperti melihat mas mirip anak buahnya Mas Krisna Murti, reserse polisi yang terkenal dengan baju Turn Back Crime-nya. Sungguh, di mata saya kurang menarik. Baju yang kaku. Sekaku para reserse itu. Cobalah tampil dengan berbeda. Bukan tampil seperti seorang follower. Pengekor. Tukang copy paste. Tak kreatif mas, namanya.
Sekali lagi, dengan bisa membuat kami tertawa, tentu kami akan merasa dekat. Merasa yang kami hadapi adalah teman akrab. Teman yang bisa bikin kami senang. Kawan yang bisa diajak ngakak bareng. Bukan calon pemimpin yang jaim. Rapi jali, yang hanya membuat kami segan untuk mendekat.
Tapi bila tak mau mengajak kami tertawa, ya sudah. Tidak apa-apa. Hanya saja kok kami ini bosan dengan penampilan yang jaim. Kata-kata yang retorik, berbuih-buih. Pernyataan-pernyataan ala birokrat yang mirip priyayi. Dekati kami, dengan bahasa rakyat. Dekati kami dengan cara tetangga kami mengajak ngobrol. Jangan dekati kami dengan cara seorang pemimpin yang mirip komandan. Kami bukan anak buah. Kami bahkan raja. Pemilik hak suara. Pemegang kedaulatan. Jadi, senangkanlah kami. Mari kita tertawa bersama. Tapi bila mereka tak mau mengajak kita tertawa, apa boleh buat, mari kita tertawakan mereka.
#Â Saat Pilkada Jakarta mulai Menghangat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H