Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jenazah Koruptor...

4 Juli 2017   22:59 Diperbarui: 5 Juli 2017   01:00 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Kompas.com

Hari masih pagi, ketika saya mampir ke sebuah warung kopi langganan saya, tak jauh dari perumahan tempat saya tinggal, di bilangan Sawangan, Depok. Suasana warung belum begitu ramai. Hanya ada dua pembeli yang lagi asyik memainkan gawainya. Di depannya sepiring roti bakar yang tinggal setengah tungkup. Segelas kopi hitam juga hampir tandas. Asap rokok mengepul dan meliuk-liuk lalu raib di udara.

Dua orang pembeli itu duduk berhadapan. Sama-sama memegang gawainya.Sampai kemudian terdengar satu orang bicara setelah menghembuskan asap rokok. " Kok sampai segitunya, ini gara-gara mendukung Ahok, ada nenek yang ditolak warga untuk disolatkan," katanya.

"Berita apa?"terdengar kawannya menimpali. Tampak ia mencondongkan badan ke arah teman nya.

" Ini berita warga yang tak mau mensolati seorang nenek gara-gara si nenek itu katanya mendukung Ahok," ujar temannya sambil memperlihatkan gawainya.

" Dimana itu?"kembali kawannya bertanya.

" Di Jakarta" jawab temannya.

Kawannya kembali menegakan badan. Di seruputnya kopi di gelas hingga tandas. Setelah melakukan menghembuskan asap rokok, terdengar dia berkata. Katanya, orang Jakarta, orang kota, kok pikirannya ndeso. Jika seperti itu, kata dia, mending enggak usah ada Pilkada. Bikin ruwet dan banyak mudharatnya. Bikin antar tetangga musuhan dan sesama teman seperti mau perang saja.  Temannya diam saja.

"Saya jadi bingung, orang-orang maunya apa? Kenapa hanya gara-gara beda pilihan terus musuhan. Sampai mati pula musuhannya. Norak namanya," katanya lagi.

Saya terdiam mendengar obrolan itu. Tapi memang berita soal nenek yang ditolak di solati sedikit mengganggu pikiran saya. Lalu saya pun teringat obrolan serupa dengan beberapa kawan di ruang wartawan di Kementerian Dalam Negeri, sore kemarin sambil mengetik berita.

Seorang kawan sama jengkelnya begitu tahu berita si nenek malang itu. Bahkan saking jengkelnya, ia sampai berkata, " Itu orang yang menolak menshalatkan kayak sudah punya nomor telepon Tuhan saja, sudah tahu si nenek bakal masuk neraka," kata dia.

Mungkin karena emosi, omongan dia pun merembet kemana-mana. Katanya, kalau pun enggak mau menshalatkan jenazah, sekalian saja tolak jenazah orang yang berlagak orang alim tapi ternyata  koruptor. Itu baru afdol, katanya. Sebab kata dia, mereka yang tampak seperti orang alim, bahkan seperti paling suci, suka ngutip ayat, tapi kemudian maling duit rakyat, itu yang sebenarnya telah menjual aqidah. Merusak agama dengan sadar." Orang seperti itu kan tahu agama, tapi mengkhianatinya. Dia sebenarnya yang layak ditolak. Orang seperti itu yang merusak agama. Apalagi kalau dia itu pejabat atau orang yang punya kuasa. Kewajiban dia kan memberi contoh baik, bukan menyodorkan perbuatan hina," katanya.

Seperti tak puas, ia kembali berkata-kata. " Misalnya, katanklah si Ahok itu tak terpilih, lalu yang terpilih itu yang lain. Lalu si gubernur baru itu ternyata gagal, bahkan korupsi, mau apa? Dihujat saja, atau sekalian ditolak juga jenazahnya kalau meninggal? Terus terang ini tak lucu. Makin enggak karuan kita ini" katanya dengan panjang lebar.

Saya yang mendengarkan itu, enggan kasih komentar. Tapi, dalam hati saya membenarkan pendapatnya, bahwa yang pantas disebut perusak agama adalah orang yang tahu agama tapi merusaknya. Koruptor adalah contoh yang  paling sahih.  Si nenek misalnya milih si A, mungkin sederhana saja pertimbangannya, kerja si A itu dirasakan olehnya. 

Saya pikir, hanya seperti itu pertimbangannya. Saya juga yakin, pertimbangan si nenek tak akan jauh melompat misalnya mengkaitkan itu dengan keyakinan. Bagi si nenek yang orang biasa, sederhana saja dalam menilai seorang pemimpin. Dia bekerja atau tidak. Dan kerjanya dirasakan atau tidak olehnya. Ukurannya hanya itu. Dia tak mungkin akan seperti aktivis, petinggi ormas atau wartawan, menelisik si pemimpin, apakah solatnya rajin, rukunya baik, hapalan kitab sucinya bagus. Tidak sejauh itu. Ukuran utamanya, merasakan apa yang dikerjakan si pemimpin.

Dua orang yang sedang ngopi pun tampak berkemas. Sepertinya, hendak menyudahi acara nongkrongnya di warung kopi. Saya sampai tak menyimak lagi obrolannya. Setelah membayar kopi dan roti bakar, dua orang itu pergi ngeloyor keluar dari warung. Terdengar bunyi motor yang menderu, meninggalkan parkiran warung.

Tinggal saya yang tersisa di warung, dengan pikiran tentang si nenek yang masih menggayut di benak. Sejumput pertanyaan menyesaki batok kepala. "Andaikan bukan si nenek yang meninggal, tapi dia mantan menteri tapi bekas napi korupsi, akankah dia juga ditolak untuk disolati?"

Sepertinya akan tetap disolati. Karena yang dilihat statusnya, sebagai mantan menteri. Itu yang acapakali lebih dianggap penting ketimbang apa yang sudah diperbuatnya. Kasihan si nenek. Andai dia itu, mantan menteri, tak seperti ini kejadiannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun