Santoso, pentolan utama kelompok teror yang bercokol di Gunung Biru Tamanjeka, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah masih jadi 'momok menakutkan'. Kelompok Santoso, sampai sekarang masih licin bagai belut. Meski diburu aparat gabungan polisi dan TNI, belum juga dapat diringkus.
Kekuatan kelompok teror Poso sendiri sebenarnya mulai melemah. Setidaknya menurut pengamatan peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie. Namun memang, karena menguasai medan, Santoso masih bisa menebar teror.
Pada awal Maret 2016, saya berkesempatan datang ke Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Saya datang ke sana untuk meliput kegiatan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, yang datang untuk menghadiri puncak acara Hari jadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ke 66 dan hari jadi Satuan Perlindungan Masyarakat yang ke 54.
Saat jadi pemimpin upacara dalam apel HUT Satpol PP, Menteri Tjahjo juga menyinggung soal keberadaan kelompok teror Santoso. Menurut Menteri Tjahjo, sudah 8 tahun, Santoso bercokol di Poso menebar teror. Sekarang, pasukan gabungan tengah memburunya. Negara dan rakyat tak boleh kalah oleh teror. Apalagi, Indonesia punya banyak satuan untuk melawan teror.
"Hampir 8 tahun gerombolan itu berkuasa di Poso. Panglima TNI dan Kapolri, sudah berkomitmen menyelesaikan itu secepatnya," katanya.
Usai menghadiri acara Satpol PP, Menteri Tjahjo mengajak wartawan untuk bersantap siang di sebuah rumah makan, dekat pantai. Kaledo Stereo, nama rumah makan tersebut. Dan di rumah makan itulah, saya bertemu dengan Misbah, wartawan Radar Parigi Moutong. Sambil menikmati menu khas Palu, Kaledo sapi, kami pun mengobrol ngalor ngidul. Sampai kemudian, datang pelayan rumah makan membawakan beberapa buah duren.
"Ah sayang, bukan duren Parigi Moutong. Mas, harus coba duren Parigi Moutong," katanya.
Parigi Moutong sendiri adalah nama sebuah kabupaten di Sulawesi Tengah. Jarak ke Poso, sekitar 125 kilometer. Dua kabupaten ini dipisahkan hutan luas yang diduga jadi tempat persembunyian Santoso Cs. Bulan Maret, kata Misbah, biasanya jadi musim panen durian Parigi Moutong. Durian Parigi Moutong beda dengan durian biasa.
"Dagingnya lebih tebal. Warnanya juga beda. Satu durian Parigi Moutong, beratnya, bisa 4 kilo. Kalau dijual hitungannya per kilo, satu kilo 35 ribu," kata dia.
Durian Parigi Moutong, kata Misbah, tumbuh di daerah pegunungan. Di pegunungan perbatasan Poso, banyak tumbuh pohon durian Parigi Moutong. Sayang, setelah kelompok Santoso menebar teror, banyak warga yang tak berani lagi memanen durian. Durian Parigi Moutong pun kian jarang dijual. Padahal, pada bulan Maret, adalah musim panen durian.
"Durian ini tumbuhnya di perbatasan dengan Poso di daerah Tolai," kata Misbah.
Di perbatasan, kondisi memang masih tegang. Terlebih setelah terjadi kasus pembunuhan tiga orang petani yang dipenggal di pegunungan. Diduga, kelompok Santoso pelakunya. Warga pun makin takut.
"Masih tegang mas. Di sana kan penduduknya, warga transmigran dari Bali dan Bugis. Sekarang, kebun kakao, banyak yang tak terurus. Itu karena teroris. Walau polisi kasih jaminan, mereka tak berani. Karena sudah ada yang dipenggal di atas, tiga orang,"tutur Misbah.
Di Palu, saya juga sempat mengobrol dengan Kepala Satpol PP Sulawesi Tengah, Muchlis. Menurut Muchlis, gangguan keamanan hanya terjadi di pinggiran. Sementara di pusat kota Poso atau Parigi Moutong, relatif aman.
"Operasi mereka itu di pegunungan, di kota Poso atau Parigi Moutong aman-aman saja. Hanya saja, para petani sekarang takut ke kebun," kata Muchlis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H