Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berita Po An Tui, Saat Media Hanya Jadi 'Tukang Tuding'

1 Maret 2016   14:39 Diperbarui: 1 Maret 2016   15:17 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya tulisan ini saya beri judul, " Malas Cari Referensi, Berita 'Sesat' Kemudian." Ini tulisan sederhana saja. Semacam kritikan saja atas pemberitaan tentang Po An Tui yang dipicu oleh peresmian monumen Laskar Tiongkok di Taman Mini Indonesia Indah yang dilakukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Setelah dicermati, saya tergelitik untuk menulis ini. Pemberitaan Po An Tui yang 'menghajar' Menteri Tjahjo itu, kok seperti berita gosip, bahkan agak berbau fitnah, karena tak berdasarkan fakta.

Fakta, fakta, dan fakta. Wartawan harus setia kepada fakta, begitulah yang saya dengar dari omongan Mas Andreas Harsono, wartawan senior yang juga murid langsung Bill Kovacs, salah satu jurnalis besar di Amerika Serikat. Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, menyebut Bill Kovach, sebagai wartawan yang sulit dicari kesalahannya.

Ya kepada fakta, kerja seorang jurnalis mendaku. Karena fakta, ibarat nyawa sebuah berita. Sekali fakta ditambah, dipotong, apalagi diputar balikan, atau bahasa gaulnya diplintir, maka kebenaran informasi sudah hilang meruap. Berita pun hanya jadi sensasi. Hanya jadi info yang bisa dikatakan 'sampah'. Karena itu, mengutip omongan Mas Andreas, setialah pada fakta.

Namun, bukan berarti, setelah seorang wartawan mendapat satu informasi, jangan lantas kemudian berpuas diri. Kembali kerja cek dan ricek mesti dilakukan. Ini, untuk memastikan akurasi. Bahkan, mesti dicek sedetil mungkin. Karena ada ungkapan, dalam detil, setan pun akhirnya bisa dilacak.

Tapi kadang 'setan' acapkali tak bisa dilacak. Kemalasan untuk setia fakta serta ketertarikan pada sensasi, membuat sebuah informasi menjadi bias. Bahkan, berita yang dibuat tak lebih dari gosip. Hanya berupa opini dengan tendensi menuding, yang pada akhirnya menyesatkan publik. Boleh jadi, bukan berita, namun hanya 'fitnah'. Dan di era digital, hal seperti ini menggejala.

Dalam buku, "Agama Saya Adalah Jurnalisme" yang ditulis Andreas Harsono, dituturkan tentang apa saja yang mesti dilakukan seorang jurnalis dalam membuat berita. Dalam bukunya, di bab pembuka, Andreas mengutip sebagian isi buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme,"yang disusun oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan terkemuka di Amerika Serikat.

Bill Kovach, adalah mantan wartawan The New York Times, salah satu wartawan terbesar di Amerika Serikat. Sementara Tom Rosenstiel, mengutip buku Andreas, adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times yang kini aktif berkecimpung di Committee of Concerced Journalists, sebuah organisasi di Washington DC, yang fokus dibidang riset dan diskusi tentang media. Buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme", sendiri, bisa dikatakan salah satu buku yang jadi 'kitab suci' para wartawan.

Dalam buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme", seperti yang dikutip Andreas dalam bukunya, ada beberapa langkah yang perlu, bahkan 'wajib' di lakukan para wartawan, saat membuat sebuah berita. Salah satu yang terpenting adalah disiplin dalam melakukan verifikasi yang merupakan elemen ketiga dari sembilan elemen jurnalisme. Mengutip buku Andreas, elemen ketiga ini, adalah esensi terpenting dari jurnalisme.

" Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni' demikian ditulis Andres dalam bukunya saat menjelaskan tentang pentingnya disiplin dalam melakukan verifikasi.

Dalam bukunya, Andreas juga menjelaskan tentang lima konsep dalam verifikasi. Lima konsep itu adalah, pertama jangan menambah atau mengarang apa pun. Kedua, jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar. Ketiga, bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase. Keempat, bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri. Kelima, bersikaplah rendah hati.

Andreas juga mengutip, kebiasaan yang dikembangkan David Yarnold dari San Jose Mercury News dalam menyunting sebuah berita, agar benar-benar akurat. Yarnold mengembang satu daftar pertanyaan yang disebut "accuracy checklist".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun