Senin malam, 22 Februari 2016, di Kementerian Dalam Negeri, masih ramai dengan para wartawan. Padahal, waktu ketika itu sudah menjelang pukul sembilan malam. Tidak beberapa lama, ajudan menteri turun. Katanya, persiapan, Menteri Tjahjo akan pulang kantor. Mobil Innova putih, tunggangan sehari-hari Mendagri sudah siap depan lobi. Pun satu unit mobil Patwal polisi.
Tidak berapa lama, satu sosok berbaju seragam PNS warna coklat keluar dari pintu lift. Para wartawan pun yang masih menunggu, langsung berhamburan mencegat langkah Menteri Tjahjo. Setelah merubung menteri, pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan. Pertanyaan pertama yang terlontar terkait terkatung-katungnya pelantikan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Seperti diketahui, pelantikan calon bupati dan wakil bupati terpilih Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yakni pasangan Surunuddin Dangga-Arsalim tak kunjung dilakukan. Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, enggan melantik, karena pasangan yang menang dalam Pilkada, masih berstatus PNS. Atas dasar itulah, Gubernur Nur Alam tak mau melantik pasangan Surunuddin Dangga-Arsalim.
"Bagaimana pak tentang nasib pelatikan Bupati Konawe Selata?" tanya seorang wartawan.
Tidak menunggu pertanyaan lain muncul, Menteri Tjahjo langsung menjawab. Kata dia, ia baru saja berkirim surat ke Presiden Jokowi, meminta ijin untuk mengambil alih pelatikan kepala daerah Konawe Selatan yang terkatung-katung. Tjahjo juga bercerita, begitu didengar pusat akan ambil alih, Gubernur Sultra, Nur Alam tiba-tiba menghubunginya, meminta waktu untuk menghadap.
" Gubernur mau nemuin aku,"kata Tjahjo.
Tjahjo menambahkan, pemerintah pusat terpaksa mengambil alih pelantikan, karena gubernur enggan melakukannya. Dalam aturan, bupati dan wakil bupati memang dilantik gubernur di ibukota provinsi. Tapi, manakala gubernur berhalangan, maka wakil gubernur bisa melakukan pelantikan. Namun, bila keduanya juga berhalangan tak bisa melakukan pelatikan, Mendagri sebagai wakil pemerintah pusat bisa mengambil alih.
"Mekanismenya seperti itu," kata Tjahjo.
Tiba-tiba, Menteri Tjahjo memanggil sekretarisnya Fanny, meminta membawakan surat dia ke Presiden. Tergopoh-gopoh Fanny datang membawa map, berisi surat Mendagri ke Presiden. " Ini dia suratnya," kata Menteri sembari memperlihatkan isi surat dia yang ditujukan ke Presiden.
Kata dia, dalam surat, ia menjelaskan alasan kenapa dia perlu mengambil alih pelantikan. Menurutnya, syarat pelantikan sudah terpenuhi. Sudah ada surat penetapan dari KPU, bahwa pasangan... adalah pemenang pemilu. Komisi pemilihan setempat pun, sudah mengirim surat ke DPRD Konawe Selatan. Dan, pihak DPRD Konawe juga mengirim surat padanya. Tidak hanya itu, sudah ada pula keputusan Mahkamah Konstitusi yang dikirimkan panitera.
" Jam lima pelantikannya. Jam 14.00 saya ada rapat kabinet terbatas, setelah rapat langsung (lantik)," kata Tjahjo.
Pengambilalihan, kata Tjahjo, agar tak terjadi stagnasi. Selain itu, pelantikan juga untuk mencegah kekosongan kekuasaan di Konawe Selatan. Dan, yang tak kalah penting, memberikan kepastian hukum.
" Makanya saya mohon ijin ke bapak Presiden, pelantikan Konawe akan diselesaikan di Kemendagri,"katanya.
Gubernur Sultra, kata Tjahjo, memang selalu berdalih, bahwa ada syarat administrasi yang kurang, sehingga tak mau melantik. Status PNS pemenang Pilkada dijadikan dalih gubernur untuk tak melantik. Karena berlarut-larut, ia pun memutuskan mengambil alih, setelah melihat payung hukumnya. Dan, Mendagri sesuai aturan berwenang mengambil alih. Selain memang pernah terjadi preseden serupa, dimana salah seorang Bupati di Papua juga dilantilk di Kemendagri.
" Dulu juga ada bupati di Papua, dilantik di Jakarta," kata Tjahjo.
Tiba-tiba seorang wartawan melontarkan pertanyaan. Kali ini pertanyaannya bukan soal Konawe Selatan, tapi tentang kasus di Simalungun. Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Simalungun juga terkatung-katung, karena wakil bupati terpilih sudah berstatus terpidana. Bahkan si wartawan penanya, menginformasikan ke Menteri Tjahjo, bahwa wakil bupati bersangkutan sudah ditahan.
" Oh ya, saya belum mengetahuinya. Ya, untuk Simalungun, memang ada yang bersikukuh, kalau satu gugur, ya keduanya gugur. Ada yang berpikiran seperti itu. Tapi kita tunggu fatwa dari KPU dan MK," kata Tjahjo.
" Untuk Gubernur Sultra, apa akan diberi sanksi pak? Misalnya ditegur," tiba-tiba seorang wartawan kembali mengajukan pertanyaan.
" Kalau dia datang kesini, ya jelaskan dasarny ini loh, kenapa dilantik di Jakarta. Soal sanksi nantilah," kata Tjahjo.
Ketentuan pengambilalihan pelantikan memang termuat dalam UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 164 ayat 1, 2 dan 3. Dalam Pasal 164 ayat (1) dinyatakan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik oleh Gubernur di ibu kota Provinsi yang bersangkutan. Sementara ayat (2), menyatakan, dalam hal Gubernur berhalangan, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilakukan oleh Wakil Gubernur.
Dan pada ayat (3) Pasal 164 UU Pilkada, pengambilalihan pelantikan oleh Mendagri diatur. Dalam Pasal 164 ayat (3) dikatakan, dalam hal Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tidak dapat melaksanakan sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1) dan ayat (2), Menteri mengambil alih kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Selasa sore, 23 Februari 2016, akhirnya, Surunuddin Dangga – Arsalim resmi dilantik Menteri Tjahjo di Kantor Kementerian Dalam Negeri. Usai pelantikan, Tjahjo kembali menegaskan, pelantikan tak menyalahi aturan, meski dilakukan di Jakarta, dan dia mengambil alih tugas gubernur yang enggan melantik. Ia juga memerintahkan bupati dan wakil bupati Konawe Selatan, secepatnya menghadap gubernur Sultra untuk koordinasi.
" Bupati-wakil bupati ini dipilih masyarakat. Harus cepat bekerja, jangan sampai jabatan tersebut lama kosong," kata Tjahjo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H