Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Duka Tukang Bajaj, Bayar Timer Juga 'Sangoni' Oknum Polisi

18 September 2015   01:54 Diperbarui: 18 September 2015   16:31 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup di Jakarta, bukan perkara mudah. Biaya hidup yang terus mengerek setiap saat, membuat hidup di ibukota, seakan terus menanggung beban berat. Bagi yang berpenghasilan tebal, mungkin tak masalah. Tapi bagi yang penghasilannya megap-megap, tentu biaya hidup yang tinggi, menjadi beban tersendiri yang sangat berat ditanggung. Sementara yang masuk kategori megap-megap itu yang mayoritas di Jakarta.

Tapi mau apalagi, Jakarta masih tetap pusat gula-gula. Manisnya mimpi kota Jakarta, membuat ibukota itu selalu dikerubuti 'semut-semut' dari seluruh penjuru Tanah Air. Ada yang gagal, ada yang berhasil. Namun sisa kebanyakan adalah bertahan, dengan segala daya dan cara, tetap bertahan di Jakarta, sembari merajut mimpi, di suatu hari kelak, keberhasilan menghampiri.

Toid misalnya, laki paruh baya, seorang supir bajaj, memutuskan coba terus bertahan di Jakarta. Dengan bajaj, ia terus mencoba mengais-ngais keberuntungan. Lewat bajaj, ia 'menantang' kerasnya persaingan berebut rejeki di ibukota. Sampai saat ini, ia masih bisa tersenyum, kadang senyumnya terlihat satir.

Saya bertemu dengannya tak sengaja. Di pinggir sebuah warung rokok yang menggunakan gerobak, saya mendapatkan cerita dan kisah marginal dari mulut Toid. Warung rokok gerobak itu, favorit para supir bajaj, yang saban hari mengarungi jalur sekitaran Blok M-Cipete. Di sini pula, Toid dan kawan satu profesi rehat sebentar, mereguk segelas kopi hitam favoritnya, ditemani hisapan sebatang rokok.

Di sini pula obrolan-obrolan kaum marginal terjadi. Obrolan para supir bajaj, salah satu profesi yang masih terus bertahan dan dipertahankan. Dari mulut Toid juga, diketahui, sistem setoran bajaj, tak hanya berlaku harian. Tapi ada dua sistem. Satu yang lazim dan bisa dikatakan sistem paling awal diberlakukan adalah setoran tiap hari. Kini, mulai ngetren, sistem kontrak dengan durasi kontrak satu bulanan.

" Sekarang ada sistem kontrak bulanan. Misalnya saya ini, pakai sistem sewa, 400 ribu perbulan, " kata Toid.

Jadi, setoran diberikan per satu bulan, dengan jumlah setoran yang sudah disepakati pengontrak dan pemilik bajaj. Toid misalnya dengan pemilik bajaj menyepakati angka sewa bulanan sebesar 400 ribu.

" Kalau ngontrak bulanan, ya semuanya kita yang atur, mulai dari olinya, juga memperbaiki kalau ada kerusakan. Onderdil juga kita yang tanggung," katanya.

Juragan bajaj, tahu beres, tahu nanti ditanggal yang disepakati sebagai waktu terima setoran, tinggal menerima uang sewa saja. " Juragan bajaj tahu beres dan bersih sajalah," kata Toid.

Mulyanto kolega Toid, sesama supir bajaj ikut nimbrung. Kata dia, jika sistem setoran tiap hari, maka kewajiban supir bajaj, hanya setor uang tarikan saja. Besaran setoran, biasanya antara 35 sampai 37 ribu per hari.

Tapi jatuhnya bisa lebih besar daripada memakai setoran per bulan. Ia pun sama dengan Toid lebih memilih sewa bulanan.  Kenapa lebih mahal, sebab bukan hanya uang setoran yang jadi kewajibab supir bajaj, tapi juga wajib membayar uang oli bajaj pada juragan bajaj.

" Jatuhnya, kalau pakai setoran tiap hari bisa 1,5 juta per bulan. Kan tak hanya setoran,  kita juga kalau pakai harian, harus juga membeli oli bajaj. Dua kaleng per harinya ke yang punya bajaj. Jadi total setoran dengan beli olinya itu, bisa 50 ribuan itu, " urainya.

Namun, kalau memilih sewa harian, si supir bajaj, kata Mulyanto, tak usah pusing memikirkan biaya perbaikan, andai bajajnya itu ada kerusakan. Juragan bajajnya nanti yang memperbaiki.

" Kalau ada kerusakan ya santai saja, juragannya yang memperbaiki, kan punya mekanik juga dia," kata Mulyanto.

Saat ditanya, soal ketersediaan onderdil, jika bajajnya rusak, Toid mengatakan, tak terlalu susah mendapatkannya.

" Kan onderdilnya sama dengan vespa," kata dia.

Bahkan kata dia, di bilangan daerah Cipete, ada toko yang khusus menyediakan onderdil bajaj. " Mas, kalau ke daerah Cipete, di jalan Abdul Majid itu ada toko khusus onderdil bajaj," katanya. Jalan Abdul Majid, adalah sebuah ruas jalan di daerah Cipete.

Mulyanto kembali nimbrung. Ia menambahkan informasi dalam dunia si roda tiga. Kata Mulyanto, ada orang yang banyak membantu para supir bajaj. Namanya, timer.

" Ya dia itu, yang ngatur-ngatur para supir bajaj, misalnya yang ngetem di sebuah pertokoan, tempat mangkal kita," kata dia.

Si timer itulah, yang mengatur antrian bajaj yang mangkal. Biasanya tempat mangkal yang bajaj, seperti halaman depan pertokoan atau pasar selalu ada orang yang menjabat sebagai timer. Tapi tugas timer tak hanya itu.

" Dia juga yang ngatur-ngatur kalau berurusan dengan polisi," kata dia.

Maklum, kata Mulyanto sambil terkekeh, polisi kerap meminta sekedar uang rokok. Nah, urusan itu yang jadi kewenangan si timer. Nanti si timer yang berurusan dengan 'oknum polisi' yang kerap meminta 'jatah' itu.

Tapi tak gratis, kata dia, tetap saja supir bajaj yang harus menanggung biayanya. Maka tiap hari si supir bajaj itu urunan, mensubsidi si timer dan polisi yang minta uang rokok.

" Ya semacam uang keamananlah. Biar kita amanlah kalau misalnya ngetem di ITC, atau di Pasar Mayestik, katanya. Dua tempat yang disebutknnya, ITC adalah sebuah pusat pertokoan di jalan Fatmawati, sementara Pasar Mayestik adalah pasar tradisional di bilangan Jakarta Selatan. Dua tempat itu adalah tempat favorit bagi supir bajaj ngetem mencari penumpang.

Agar aman, dan tak di usir-usir, memberi subsidi adalah cara mengatasinya. Berapa besarannya, Mulyanto menyebutkan untuk subsidi bagi timer, tiap hari sebesar 2000 per sipir bajaj. Itu hanya untuk timer saja.

" Sekali ngetem bisa 2000 rupiah. Bila ada polisi yang minta jatah, ya kita bayar lagi, patungan 1000 sampai 2000 lagi satu orangnya," kata dia.

Padahal, yang ngetem itu bisa belasan hingga puluhan bajaj. Walau si roda tiga itu, kendaraan marginal, dengan suara mesin yang memekakan telinga, dan kepulan asap pekat dari knalpotnya, tapi harga jual masih memikat. Bajaj yang mulus, kata Mulyanto, harganya bisa 20 jutaan. " Yang agak jelek-jelek, ya 17 jutaanlah," kata dia.

Dulu, kata Mulyanto, harga bajaj sempat melorot. Kala itu, pemerintah melansir moda transportasi yang niatanya, mengganti si roda tiga, yakni bajaj dengan BBM dan si roda tiga, yang dinamai si kancil.

" Wah, mas, waktu itu bajaj yang bagus saja harganya 15 juta. Sekarang naik lagi harga bajaj," ujarnya.

Pada akhirnya memang, bajaj dari negeri Paman Gandhi yang menang dalam persaingan. Tetap bertahan, bahkan saudara mudanya, bajaj BBG dan si kancil harus minggir. Gaungnya kini tak terlalu sekencang saat awal dilansir pemerintah ibukota waktu itu.

Dari sisi uang setoran, bajaj BBG juga kelasnya beda. Setoran penarik bajaj BBG, satu hari bisa 120 ribuan. Tarifnya pun beda dengan bajaj dari negeri India, meski menempuh jarak yang sama. Suara bajaj BBG pun halus, tak segahar bajaj biasa.

Bagi Toid, bajaj adalah sumber kehidupan. Kecepatan maksimal dari tarikan gas bajaj, adalah 70 kilometer per jam, secepat itu pula, penghasilan dari menarik bajaj. Tapi dengan itu pula, ia mengasapi dapur keluarga, untuk makan, dan biaya sekolah anak.

Bajaj, jadi alat bertahan Toid dan banyak Toid lainnya di Jakarta. Toid sendiri, menjatuhkan pilihan bertahan di Jakarta dengan bajaj, sejak Soeharto lengser. Awalnya ia supir angkot. Tapi ia hijrah ke bajaj, setelah mendengar dari si roda tiga, pundi rejeki lebih banyak di bawa ke rumah. Hingga sekarang ia setia dengan bajajnya.

Menariknya, seiring wabah teknologi yang menjalari jaman, penarik bajaj pun tak mau ketinggal. Di era telepon genggam, supir bajaj pun tak mau ketinggal memakainya. Kini, telepon genggam jadi alat yang menghubungkan dengan para pelanggannya. Beberapa penarik bajaj, memang punya pelanggan. Apalagi bila wilayah operasinya ada pasar tradisional.

Toid misalnya, juga mempunyai pelanggan tetap yang harus diantar jemput ke pasar. Subuh hari, ia sudah harus menjemput pelanggannya, seorang pengelola warung Tegal atau warteg. Lalu menunggunya, usai si pelanggan berbelanja, ia pun mengantarkannya kembali ke tempat awal menjemput.

" Lumayan, kan nanti bisa untuk merokok dan ngopi pagi-pagi, sebelum narik siangnya," kata Toid, sambil mereguk kopinya.

Di tempat mangkal para supir bajaj, ngobrol sambil ngopi dan merokok seakan menjadi tradisi. Ragam topik diobrolkan. Ketika hangatnya piala AFC digelar, itu pula tak luput jadi bahan obrolan. Nama Irfan Bachdim, striker timnas PSSI saat di piala AFC, kata Toid, jadi tokoh utamanya.

Ternyata, tak hanya tema ringan yang jadi bahan obrolan disela ngetem. Tema yang berat pun dibedah oleh para sopir bajaj. Saat saya mengobrol dengan komunitas para penarik bajaj, tengah hangat-hangatnya kasus dugaan suap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin meledak, mereka pun gasik mengobrolkannya.

Apa yang sedang ramai di koran, para penarik bajaj, menjadikannya bahan obrolan disela-sela ngopi dan merokoknya. Apalagi bila tempat mangkalnya itu, ada lapak penjual koran, pinjam sebentar surat kabar, dibacanya, lalu di obrolkan.

Bahkan diskusi para penarik bajaj, tak kalah serunya dengan diskusi serius yang digelar di hotel-hotel berbintang yang menghadirkan para pengamat politik kondang. Kendati tiap hari terus dikejar beban hidup, dan setoran, tapi mereka juga haus informasi.

Bahasa obrolan mereka memang bukan bahasa akademik yang canggih dengan pernik-pernik kalimat asing. Tapi justru komentar mereka lebih jujur dan polos. Misalnya ketika membicarakan kasus Nazaruddin, analisa mereka menyimpulkan, masuk partai dan DPR hanya untuk ngobyek. Pantesan, kata mereka, yang jadi anggota dewan, makin kaya saja.

Pantesan pula, ujar mereka, tiap kampanye bisa nyarter bajaj-bajaj mereka, ditempelin stiker-stiker partai dan calon legislatif. " Jangan-jangan uang sewa kita, hasil obyekan, uang korupsi," kata salah seorang supir bajaj, yang ikut nimbrung ngobrol bersama Toid dan Mulyanto sambil mengunyah goreng pisang.

Ditimpali yang lainnya. " Jangan-jangan uang korupsi, ah, yang penting masih laku dipakai duitnya, bukan uang palsu, he..he.." Kata teman Toid yang lainnya.

Salah seorang coba menghardik. " Woi, mikirin negara, kayak kita dipikirin saja,"

Tapi, mereka tetap mengobrolkannya. Mengobrolkan negara, yang mereka cintai. Sambil ngopi dan merokok. Mengobrol dan mentertawakan nasib mereka, dan juga laku para elit negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun