[caption caption="Suasana Pos Pamtas TNI di Long Nawang, Perbatasan Indonesia-Malaysia"][/caption]Dari tanggal 16 sampai 17 Agustus 2015, saya dapat kesempatan langka berkunjung ke sebuah desa pedalaman di Kalimantan Utara. Desa tersebut, bernama Long Nawang. Desa ini, masuk dalam wilayah Kecamatan Kahiyan Hulu, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara.
Adalah undangan liputan dari Kementerian Dalam Negeri yang membuat saya akhirnya bisa menginjakan kaki di Long Nawang. Dalam peringatan hari kemerdekaan RI ke-70, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, jadi inspektur upacara hari kemerdekaan di Long Nawang. Dan, bagi warga desa Long Nawang sendiri, kedatangan Mendagri adalah sejarah. Karena sejak Indonesia merdeka, bahkan sejak 120 tahun desa itu berdiri, baru kali ini ada seorang menteri bersedia menginjakan kaki ke Long Nawang.
Maka kedatangan Mendagri pun dianggap sangat istimewa. Menurut mantan camat Kecamatan Kahiyan Hulu, Ihim Surang, saat berbincang dengan saya, ketika saya sudah tiba di Desa Long Nawang, persiapan menyambut Mendagri sudah dilakukan sejak tiga bulan lalu. Rapat demi rapat di gelar. Seluruh kepala suku dikumpulkan. " Persiapannya cukup lama," katanya.
Pada tanggal 16 Agustus 2015, saya sudah tiba di Long Nawang, setelah menempuh perjalan lewat jalur udara dari Bandara Juwata, Tarakan, menggunakan pesawat kecil milik maskapai Ibu Susi Pudjiastuti. Dari Tarakan, pesawat berkapasitas 12 orang ini terbang dan mendarat di bandara kecil yang ada di Long Ampung. Baru, setelah itu menyambung perjalanan menggunakan mobil berpenggerak ganda atau double gardan ke Desa Long Nawang.
Perjalanan dari Long Ampung ke Long Nawang, cukup 'mengesankan'. Mobil yang saya tumpangi harus 'melahap' jalanan tanah yang bergelombang, turun naik bukit. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam-an, akhirnya saya tiba di Long Nawang. Waktu menjelang Ashar.
Saat tiba, ternyata beberapa wartawan yang tiba duluan sudah 'kabur' ke pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) yang langsung berbatasan dengan wilayah Malaysia. Pak Ihim Surang, mantan camat setempat yang menyambut kami, akhirnya menawarkan untuk berkunjung juga ke pos Pamtas, menyusul kawan-kawan wartawan yang sudah berangkat terlebih dahulu. Tawaran itu langsung saya sambar. Bersama beberapa orang wartawan, saya pun bergerak kembali menumpang mobil yang sama ke lokasi pos Pamtas.
Ternyata jaraknya lumayan jauh. Menurut Pak Ihim Surang, waktu tempuh sekitar 1 jam-an. Medan jalan pun lebih menantang. Masih berupa jalan tanah, tapi medan lebih berat lagi, karena harus melewati tanjakan dan turunan curam. Maka sepanjang perjalanan, badan benar-benar menikmati 'siksaan' jalan. Berkali-kali, kami harus menikmati guncangan demi guncangan.
Untungnya cuaca cukup cerah. Saya tak bisa membayangkan, bila hujan turun. Boleh jadi, kami akan gagal menuju tempat tujuan. Langit dengan warna biru cerah, jadi hiburan tersendiri. Warna langit yang benar-benar langka. Gerumbulan awan yang menghias langit jadi pelengkap hiburan kami sepanjang jalan.
Perjalanan makin mengasyikkan, karena berkali-kali terdengar suara burung dari hutan yang kami lewati. Sungguh sesuatu yang langka. Suasana yang tak akan pernah kami dapatkan di Jakarta. Udara sangat segar. Sepanjang perjalanan pun kami isi dengan obrolan ngalor.
Menjelang pos Pamtas, kami berpas-pasan dengan rombongan wartawan lain yang ternyata sudah 'turun gunung'. Hari makin sore, saat saya dan beberapa wartawan lain tiba di pos Pamtas. Dari kejauhan sudah terlihat plang bergambar bendera Merah Putih dan bendera Malaysia. Di sisi kiri, terdapat tiang kayu dengan kibaran bendera sang saka Merah Putih. Di sampingnya, tiang berbendera Malaysia.
Terdapat pintu atau semacam portak terbuat dari kayu dan kawat berduri melintang di tengah jalan. Pintu atau portal ini semacam pintu masuk. Empat tentara berbaju loreng tampak berdiri dekat plang kayu.
Kami pun segera berloncatan turun. Setelah menyalami para tentara, kami pun diajak jalan-jalan sekitar bangunan pos jaga yang terbuat dari kayu. Sertu Nuryanto, Wakil Komandan pos jadi pemandu kami.
" Kami dari Batalion Kodam Brawijaya," kata Sertu Nuryanto menerangkan asal-usul kesatuannya.
Kata Sertu Nuryanto, pasukannya semuanya ada 15 personil. Mereka baru bertugas pada bulan Juni kemarin, menggantikan personil yang habis masa tugasnya. Di sana, mereka akan bertugas selama 9 bulan lamanya. " Kami ditugaskan jaga perbatasan, 9 bulan lamanya, setelah itu diganti personil yang baru," ujarnya.
Wah, cukup lama juga mereka bertugas di tengah belantara, tanpa fasilitas yang memadai. Di pos, sama sekali tak ada hiburan. Tak ada televisi. " Dulu ada televisi, tapi sudah rusak," ujar Sertu Nuryanto.
Selain tak ada televisi, ternyata sinyal komunikasi telepon pun sangat susah. Tapi kata dia, ada sebuah lokasi yang lumayan bisa menangkap sinyal. Ia pun kemudian menunjuk pada sebuah gubuk bertingkat yang terbuat dari kayu tak jauh dari bangunan utama pos jaga. " Itu kami namakan pondok cinta," ujar Sertu Nuryanto sambil tersenyum.
Kenapa gubuk dari kayu itu disebut Pondok cinta, karena di gubuk itulah sinyal telepon bisa dijaring. Jadi jangan 'ngeres' dulu. Di gubuk itulah para tentara melepas kangen dengan orang-orang tercinta nun jauh disana. Lewat telepon genggam, mereka biasanya menelpon sekedar menanyakan kabar kepada istri atau anaknya. " Rata-rata kami sudah menikah. Jadi ya hiburan kami menelpon orang rumah di pondok cinta tersebut," kata dia.
Tapi kata dia, meski sinyal bisa di dapat di Pondol Cinta, bukan berarti mereka juga bisa menikmati layanan internet via telepon genggam. " Internet tak bisa dibuka disini, hanya telepon dan SMS, makanya HP jadul saja yang digunakan," katanya.
Lalu bagaimana dengan tentara penjaga perbatasan Malaysia? Tentang ini Sertu Nuryanto punya cerita. Katanya, tentara penjaga perbatasan Malaysia itu lebih enak, karena hanya bertugas selama satu bulan. Setelah satu bulan bertugas, mereka diganti personil baru. "Petugas Malaysia tugasnya hanya satu bulan saja, setelah itu mereka dapat cuti, dan diganti yang baru," katanya.
Informasi itu, kata Sertu Nuryanto, ia dapatkan dari tentara penjaga perbatasan Malaysia yang pernah berkunjung ke pos penjagaan Indonesia. " Mereka kadang datang ke sini. Kami pernah main voli bareng," katanya.
Salah seorang wartawan dari TV One, ikut nyeletuk," Wah hebatan tentara Indonesia dong, tahan bertugas 9 bulan di hutan," kata Ken.
Mendengarnya Sertu Nuryanto hanya tertawa kecil. Saya pun ikut nimbrung. " Iya lebih hebat TNI dong. Kalau perang pun, lebih tahan menderita karena sudah teruji tak pulang-pulang he.he.he",kata saya.
" Janganlah ada perang. Kami di sini damai-damai saja kok," ujar Sertu Nuryanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H