Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Membunuh" Dahlan?

15 April 2012   02:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:36 1475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan ini, pemberitaan yang sedang menghangat adalah soal geng motor. Kebrutalan geng motor sudah meresahkan, karena korban jiwa berjatuhan oleh aksinya. Makin resah, sebab muncul dugaan geng motor itu isinya para serdadu. Meski soal dugaan ini para petinggi aparat, baik TNI dan polisi masih membantahnya.

Di jagad politik, yang ramai mungkin soal disahkannya UU Pemilu, setelah dua tahun dibahas. Para aktivis penggiat pemilu, menganggap UU itu tak lebih baik. Kata August Mellaz, seorang Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, saat bertemu dengan saya di sebuah kafe, Jumat kemarin, mengatakan UU Pemilu tak ada yang baru. " Yang baru mungkin hanya soal angka parliamentary treshold saja yang naik jadi 3,5 persen," kata dia.

Dalam kata lain, August menilai, secara keseluruhan UU Pemilu anti klimaks, dua tahun dibahas, diwarnai tarik ulur dan perdebatan, tapi begitu disahkan, tak ada sesuatu yang ia sebut penuh terobosoan. " Saya kira 2019, UU itu akan direvisi lagi," katanya.

Pemberitaan lainnya yang sedang menghangat adalah soal Dahlan Iskan. DPR, katanya sedang menggulirkan hak interpelasi menyoal kebijakan Dahlan dalam mengangkat direksi BUMN. Dahlan, dianggap melangkahi aturan, karena mengangkat beberapa direksi BUMN tidak lewat prosedur yang baku diterapkan selama ini, yakni harus lewat Tim Penilai Akhir.

Golkar dan PDI-P yang paling ngotot. Namun beringin yang lebih kentara agar interpelasi itu bisa gol. Saya tergelitik ikut mengomentari itu, meski saya bukan pengamat politik, hanya warga biasa. Pastinya, tanggapan saya tak secanggih para pengamat politik. Ini hanya suara dari orang biasa yang ngopi di warung pinggir jalan, bukan orang yang biasa berbusa bicara di ajang seminar atau diskusi di hotel-hotel berbintang.

Dahlan Iskan, bos Jawa Pos, yang kini jadi Meneg BUMN, adalah bintang yang sedang bersinar. Cerita terakhir yang menghebohkan dari Dahlan adalah kisah ngamuknya dia di pintu tol Semanggi. Saat itu Dahlan hendak menghadiri rapat dengan direksi Garuda, perusahaan penerbangan plat merah. Hari masih pagi, belum juga pukul tujuh. Antrian di pintu tol lumayan mengular. Dahlan, murka setelah tahu ada pintu tol nganggur tanpa penjaga. Ia pun marah dan turun dari mobilnya, membanting kursi dan membuka paksa palang pintu tol. Mobil yang antri pun ia persilahkan masuk, gratis tanpa harus membayar.

Cerita itu lalu heboh. Petinggi Jasa Marga, pengelola tol sampai harus berjanji, hal itu tidak akan terjadi lagi. Dan Dahlan jadi cerita media. Pembaca pun bertepuk tangan untuk Dahlan. Sekali lagi Dahlan mampu merebut panggung.

Yang paling baru soal akun twitter Dahlan. Baru dibuat dan mengawali berkicau, ribuan sudah pengikutnya. Dahlan memang sedang disenangi.

Bahkan, sebelum kisah pintu tol dan twitter terjadi, nama Dahlan sudah menggeliat. Nama dia banyak disebut sebagai calon presiden. Banyak politisi yang juga menyebut Dahlan pantas bila berkantor di Istana.

Padahal Dahlan bukan orang partai. Ia juga bukan ketua umum partai besar yang punya peluang menggenggam tiket ke pemilihan presiden. Dahlan hanya lelaki yang hobi bersepatu kets, dianggap berhasil merubah PLN, sekarang dinilai pas sebagai Menteri BUMN dengan gebrakannya yang nyeleneh.

Adakah interpelasi yang ditujukan ke Dahlan motifnya politik? Bisa jadi seperti itu. Ini pandangan saya, interpelasi bisa jadi cara untuk meredam Dahlan. Atau lebih jauh 'membunuh' Dahlan sebelum ia membesar dan susah dibendung. Kekuatan Dahlan adalah mampu membuat publik suka hanya dalam sekejap waktu. Sementara ketua partai yang kini banyak berambisi menapaki karpet merah Istana harus bekerja keras meyakinkan publik, ditengah kian rendahnya kepercayaan publik kepada partai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun