Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Money

Konglomerasi Mie Rebus

8 April 2012   11:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:53 5855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat dini hari, saat saya menginap di rumah mertua, perut melilit karena lapar. Istri sudah lelap pulas. Pun anak saya. Karena perut terus berbunyi, akhirnya saya mengalah ke luar rumah menuju ke warung mie rebus yang memang tak jauh letaknya.

Warung mie rebus dekat rumah mertua saya buka 24 jam. Jadi cukup membantu bagi yang kelaparan kala dini hari. Apalagi sekitarnya banyak kos-kosan, maka cukup membantu penghuni kos-kosan yang kelaparan disaat warung makan sudah tutup.

Selain menjual mie rebus, warung itu juga menyediakan kopi seduh, dan minuman lain. Lainnya adalah gorengan dan roti dan bubur kacang hijau.

Warung itu ditunggui dua orang kakak beradik asal dari Kuningan. Mereka menyewa lahan yang dijadikan warung dari penduduk setempat. Sewanya tahunan. Warungnya cukup ramai.

Sang adik, lelaki yang masih muda usia, saya taksir mungkin kalau ia sekolah saat ini sudah SMA, bertugas menunggui warung dari pagi hingga petang. Dari petang hingga dini hari, giliran sang kakak.

Saat saya kesana Jumat dini hari, sang kakak yang menunggui warung. Warung sepi, hanya saya yang datang membeli. Saya pun pesan mie rebus pakai telor, dan teh manis hangat.

" Mienya rasa apa, kari, soto atau ayam bawang," tanyanya pada saya.

" Mie ayam bawang saja," jawab saya. Ia pun gesit membuatkan pesanan saya.

Di tembok, nampak rak terbuat dari kayu. Isinya deretan bungkus mie yang ditata berdasarkan rasa. Rasa soto digabung dengan rasa soto, pun yang rasa ayam bawang di deretkan dengan rasa yang sama. Jadi memudahkan ketika diambil.

Iseng saya bertanya padanya, kenapa hanya satu produk mie yang ia pajang dan tawarkan ke pembeli, yakni mie buatan Indofood. Ia menjawab, " Kebanyakan mesennya Indomie mas," katanya.

Ya, Indomie adalah merek jualan mie buatan PT Indofood, konglomerasi makanan di Indonesia. Perusahaan itu, milik Salim Group, entah sekarang sahamnya milik siapa saja. Namun Indofood adalah pemain lama di pasar mie instan. Sekarang banyak pendatang baru yang coba menggoyahkan dominasi Indofood, sebut saja mie sedap produk Wings Food atau mie merek ABC dan Nissin.

Tapi sepertinya Indomie masih yang favorit. Setidaknya di warung-warung mie rebus. Mungkin, karena pemain lama, maka yang terpatri di benak banyak orang penggemar mie, bicara mie pasti yang teringat pertama kali adalah Indomie. Seperti Honda, yang selalu di identikan dengan produk roda dua paling hemat bahan bakar, padahal sekarang soal hemat menghemat bahan bakar, prosuden kendaraan roda dua lainnya seperti Yamaha dan Suzuki sudah bisa bersaing dengan produk roda dua buatan Honda.

Dulu, memang Yamaha misalnya konsen pada produk roda dua jenis 2 tak. Produk 2 tak yang terkenal dan melegenda buatan Yamaha adalah RX King. Tapi kini Yamaha juga bermain di jenis 4 tak. Begitu pun dengan Suzuki yang mengeluarkan produk 4 tak yang sama seperti Honda. Tapi bagaimana lagi, susah merubah catatan di benak yang sudah kadung tertanam dalam-dalam. Meski kini Yamaha dan Suzuki sudah bisa bersaing ketat dengan Honda.

Kembali lagi soal mie rebus, memang bisa dikatakan, sudah menjadi lahan penghidupan yang lumayan hasilnya. Kabupaten Kuningan, katanya menjadi wilayah yang paling banyak mengirimkan warganya ke Jakarta sebagai penjual mie rebus. Ada beberapa daerah di Kabupaten Kuningan, yang warganya banyak merantau ke Jakarta mengadu nasib sebagai penjual mie rebus, sebut saja Luragung, Ciawi, Cidahu dan Cibingbin.

Cibingbin adalah kecamatan dimana desa kelahiran saya berada. Di desa saya banyak kawan sekampung saya yang berjualan mie rebus di ibukota. Di Jakarta, boleh saja mereka mencari nafkah di jalur informal, sebagai penjual mie rebus, tapi di kampung hasil penjualan mie rebus bisa dikatakan cukup mampu mengangkat perekonomian mereka. Menjual mie rebus tak butuh ijasah atau keahlian teknis yang harus didapat dari bangku sekolahan. Modalnya hanya kemauan saja.

Di kampung, ada kakak kelas saya saat SMP yang lumayan sukses berjualan mie rebus. Bahkan lapak mie rebusnya ada beberapa di ibukota. Di kampung, laba mie rebusnya bisa untuk membuat rumah sendiri yang lumayan megah untuk ukuran kampung, dan dibelikan sawah serta beberapa unit roda dua. Padahal ia hanya lulusan SMP, tapi mie rebus mungkin jalan rejekinya.

Model pengelolaan usaha mie rebus biasanya di kelola oleh dua orang. Bahkan kepemilikannya ada yang dimiliki dua orang. Jualan dengan sistem bergilir. Satu orang mendapat giliran berjualan satu sampai dua bulan, satunya lagi dapat giliran yang sama.

Padahal warung mie rebus di Jakarta cukup banyak, mungkin jumlahnya ratusan atau bisa jadi tembus ribuan. Bahkan kalau digabungkan, semua warung mie rebus di Jakarta bisa menjadi konglomerasi tersendiri. Konglomerasi mie rebus, karena begitu banyaknya orang yang menggantungkan harapan dan dihidupi oleh mie rebus.

Katakanlah hitung-hitungan sederhananya, di Jakarta ada 5000 warung mie rebus, bila satu warung di tunggu dua orang, maka sebanyak 10 ribu tenaga kerja yang terserap. Jumlah yang cukup signifikan di tengah langkanya lapangan pekerjaan.

Selain tentunya para penjual mie rebus, adalah simbol kemandirian masyarakat. Tanpa disuapi dan tanpa diberi keistimewaan dari pemerintah, mereka berdiri sendiri menghidupi dirinya. Meski banyak diganduli pungutan-pungutan liar, mereka tetap bertahan.

Dan bisa dibilang usaha jualan mie rebus tak kenal krisis. Modalnya tak memerlukan rupiah yang banyak, hanya cukup sewa lahan, bangun warung sederhana dan peralatan masak, ditambah modal jualan membeli mie, kopi dan makanan pendukung lainnya.

Karena selama perut orang Indonesia masih menerima mie rebus atau goreng, selama itu pula peluang bisnis mie rebus bisa hidup di Jakarta. Labanya juga lumayan, katakanlah satu bungkus mie sebelum dimasak harganya berkisar dari 1800 sampai 2500, tapi saat sudah direbus harganya menjadi 5000 rupiah.

Kopi seduh pun demikian, satu sachet harganya 500-700 rupiah, saat sudah diseduh bisa menjadi 2000 rupiah. Jadi cukup lumayan laba bersihnya. Maka tak heran, bila di pusat kota, banyak orang berkeliling pakai sepeda menawarkan kopi seduh. Ayo siapa minat jadi bagian dari konglomerasi mie rebus?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun