Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Beramai-ramai Menolak Eksekusi

21 Maret 2012   05:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:40 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi saat hendak di eksekusi, Kamis pekan kemarin, kuasa hukum Walikota Bekasi non aktif itu, Sira Prayuna, menegaskan kliennya tak akan memenuhi panggilan KPK sebelum mendapat salinan putusan kasasi dari MA. Sebab kata Sira, berdasrkan Pasal 270 KUHAP, pelaksanaan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, tak bisa begitu saja dilakukan. Panitera pengadilan harus mengirimkan salinan putusan.

Eep Hidayat pun sama saja. Oleh sidang kasasi hakim agung MA, Eep diputuskan bersalah dalam kasus korupsi biaya pemungutan pajak bumi dan bangunan (BP PBB) di Pemkab Subang tahun 2005-2008.

Majelis hakim yang diketuai, Artidjo Alkostar dengan anggota, Leo Hutagalung dan Syamsul Chaniago memutuskan Eep bersalah dan di vonis lima tahun penjara, dan denda 200 juta subsider tiga bulan penjara.

Maka, dengan vonis itu ambisi Eep mencalonkan diri pada Pilgub Jawa
Barat terancam gagal, karena ia siap di eksekusi masuk bui. Atas
putusan itu Eep coba melawan, dengan melakukan aksi demo gigit sandal di depan gedung MA. Dan mendatangi kantor Mendagri disertai beberapa aparatur Pemkab Subang, mengancam mogok kerja.

Menurut mantan Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Ibrahim Fahmi
Badoh, harusnya Eep dan Mochtar sudah bisa di eksekusi. Karena bila
berlarut-larut hanya akan menyebabkan ketidakpastian hukum dan mencederai rasa keadilan di mata publik.

" Ini pola lama. Di zaman awal reformasi proses hukum sering
terhalang izin presiden masalahnya juga keterlambatan pengiriman surat permohonan ijin pemeriksaan atau ketidakjelasan proses di Sekneg," kata Fahmi.

Fahmi menyayangkan lambatnya surat salinan diberikan. Kepala daerah yang hendak di eksekusi pun mestinya tak coba berkelit, apalagi di era transparansi sekarang ini. " Mestinya hal ini tidak terjadi lagi," katanya.

Sedangkan Abdullah Dahlan dari ICW menyebut sikap Eep dan Mochtar yang menolak di eksekusi menunjukkan bahwa keduanya tidak taat dan tunduk pada hasil peradilan. Atau secara umum membangkang pada hukum.

Memang, setiap putusan yang divonis harus menerima salinannya. Hanya saja, kata Abdullah, beberapa persoalan sering kali muncul, misal kejaksaan yang telat mengeksekusi putusan peradilan dengan dalih yang sama. Dan ada kejadian, karena terlambat di eksekusi yang di vonis melarikan diri.

" Inilah penyakit birokrasi, yang lambat menindak lanjuti. Harusnya
itu tak terjadi lagi, kalau mereka berkomitmen dalam memberikan efek jera pada pelaku korupsi," kata Abdullah.

Ketua Presidium Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi),Choky Risda Ramadhan, mengkritik lambannya salinan putusan diberikan pada Mochtar dan Eep. Artinya kerja birokrasi di pengadilan, khususnya MA masih masih menyisakan masalah. Dan itu harus dievaluasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun