Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aksi Cowboy Jalan Di Malam Minggu

24 Juli 2011   17:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:25 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu,menjelang larut, saya meluncur pulang dari tempat kerja. Sabtu malam minggu, ketika itu. Jalanan ramai, dari arah Thamrin menuju blok M. Maklum malam minggu, banyak warga Jakarta, terutama yang muda, yang keluar rumah, menikmati malam.


Di ruas jalan raya Fatmawati, sebuah jalan utama yang menghubungkan jantung Jakarta, dengan wilayah batas selatan ibukota, seperti Cinere sampai tembus sampai Depok. Di ruas ini, meski waktu sudah melewati tengah malam, atau sudah masuk awal hari Minggu, jalanan ramai, tak biasanya, di jam yang sama di hari berbeda, jalanan tak seramai ini.


Bunyi knalpot motor meraung-raung. Saya yang mengendarai motor, dengan kecepatan santai, menuju arah Pondok Labu, melihat dari sisi seberang lajur yang berlawanan, tiga motor matic melaju kencang. Suaranya, memekak telinga. Pasti, karena knalpot yang dimodif atau dibobok, sehingga suara motor matic yang aselinya lembut, terdengar seperti bunyi motor yang sedang marah.


Tiga penunggangnya, tak berhelm. Badan membungkuk, tangan membetot gas sekuatnya. Mereka sedang adu kecepatan. Balap liar, memang kerap terjadi di ruas jalan Fatmawati raya. Yang saya lihat, kala melaju pulang, adalah salah satu adegannya.


Sembari melaju, menuju pulang, dalam benak saya, yang ada hanya kesimpulan, untuk apa mereka jadi cowboy liar di ruas jalanan umum. Mereka jelas, bukan Valentino Rossi, yang dibayar mahal, untuk adu cepat. Jalanan yang dipakai mereka berlagak seperti Rossi pun, bukan sirkuit tempat balapan. Tapi jalanan umum.


Banyak pertanyaan, dan heran tak berujung melihat tingkah mereka.Bagaimana, jika mereka kemudian celaka. Kepala tak pakai helm. Bahkan juga dari cowboy jalanan di malam minggu itu, bercelana pendek dan

berkaos oblong. Lalu, jika sedang sial dan terjungkal, atau berserempetan dengan pengemudi motor lain, atau mobil. Kalau hanya lecet mungkin tak seberapa. Tapi tak mungkin, jika hanya lecet, karena gas motor sendiri

di betot sekuatnya.


Parahnya, adalah patah tangan. Fatalnya meninggal. Tentang ini, saya pernah mendapat cerita dari seorang supir bajaj, yang kerapkali bolak-balik menyusuri ruas 'sirkuit' dadakan di Fatmawati Raya itu. Nama supir bajaj itu Toidin.


Suatu waktu, Toidin bercerita, pernah katanya, ketika mengantar penumpang, sama juga saat malam sudah begitu larut. " Mungkin sekitaran pukul dua," kata Toidin, saat mengisahkan pengalamannya.


Saat itu, kisah Toidin, bulan Ramadhan. Di dini hari itu, juga sama seperti yang saya saksikan, sedang ada pentas adu balap. Tiba-tiba, brakkk, satu cowboy yang sedang membetot gasnya, hilang kendali, karena bersenggolan dengan cowboy lainnya, tepat kejadian itu didepan bajajnya. Hanya berjarak, tiga meteran. Jadi para pembalap dadakan itu, saling melaju kencang dari belakang bajaj Toidin. Lalu bersenggolan, dan lepas kendali. Satu 'cowboy' meluncur menabrak trotoar, satu lagi, menggelusur di aspal jalan.


" Yang nabrak trotoar mas, parah. Kepalanya bentur semen, berdarah-darah. Kayaknya tak tertolong, satunya juga parah," katanya, mengisahkan pengalamannya melihat para 'cowboy' terkapar.


Bajajnya sempat berhenti sejenak. Tapi lanjut jalan lagi, setelah orang-orang yang awalnya, banyak nonton 'balapan para cowboy' berhamburan mengerumuni tempat kejadian perkara. Toidin lebih memilih mengantar penumpangnya, karena itu adalah nafkahnya. Ia tak ikut menolong, karena ia pikir sudah banyak orang yang pasti akan menolongnya, entah menelpon ambulan atau membawa ke rumah sakit.


Bisa jadi, para cowboy yang saya lihat, akan seperti yang Toidin lihat. Celaka, dan terkapar. Berdarah-darah, luka patah tulang, atau fatalnya meregang nyawa. Tapi mudah-mudahan tak seperti itu bernasib naas. Namun alangkah baiknya, aksi cowboy itu dihentikan saja. Selain mengganggu kenyamanan pengguna jalan, juga mengundang bahaya.


Para cowboy, yang rata-rata usai tanggung, yang sepertinya juga masih tanggungan orang tua. Motor yang dipakai aksi balap-balapan, bisa jadi masih kreditan, yang cicilannya dibayar orang tua mereka. Coba, jika kemudian bernasih naas, taruhlah sekedar luka, orang tua juga yang kelabakan, harus pontang-panting cari biaya pengobatan. Belum lagi, harus bayar cicilan, juga memikirkan ongkos perbaikan motor yang ringsek.


Andaipun fatal, sampai meninggal, orangtua pasti yang akan bersedih, sembari menyesal dan mengutuk penyebabnya. Apapula coba yang bisa didapat dari aksi cowboy jalanan seperti itu, selain menambah dosa

diumpat pengendara yang terganggu dan doakan yang tidak-tidak.


Jadi jawara balap pun, apa imbalannya, mungkin hanya sebatas tepuk tangan kawan se-gank. Paling banter taruhan rupiah yang jauh sebanding dengan resikonya. Maka, saya tak habis pikir, apa yang mereka cari?


Mencari jatidiri, ah kok seremeh itu caranya. Mencari eksistensi, dan pengakuan, namun kok sebodoh itu pula caranya. Entahlah, tapi yang pasti, saya salah satu pengendara yang mengumpat mereka, para cowboy liar dimalam minggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun