Petang tadi, titik gerimis terasa merinai, di Jakarta Selatan. Tapi gerimis tak jadi deras, bahkan hanya turun sesaat, setelah itu reda, meski mendung terlihat masih menggayut langit. Tapi, seorang sahabat, mengabarkan di Depok, hujan turun deras. Ia agak merutuk, khawatir hujan berbuah banjir.
Ingat itu, saya pun teringat tragedi asap di Riau. Di Riau, hujan adalah anugerah yang ditunggu-tunggu. Hujan turun, alamat sekapan asap pun bisa sedikit terusir.
Saya pun iseng, membuka file-file tulisan di laptop. Satu tulisan di ketemukan tentang hujan dan asap di bumi Riau. Agak usang memang. Tapi, ketimbang tulisan itu jadi fosil, terbuang percuma, rasanya tak ada salah bila saya unggah ke kompasiana, republik milik warga. Tulisan usang ini saya buat 3 Maret 2014. Tadinya saya kirim untuk dimuat di media cetak tempat saya bekerja. Namun urung dimuat.
Tulisan usang saya ini, awalnya berjudul, " Alhamdulillah, Riau Hujan", tapi biar beda dikit, tanpa mengurangi isi, judul saya rubah, " Alhamdulillah, Hujan Turun."
" Alhamdulillah, Riau hujan" kalimat syukur itu, diucapkan Kepala
Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta, yang saya terima via layanan blackberry messenger (BBM), 3 Maret 2014.
Hujan, bagi wilayah Riau, seakan sebuah berkah yang ditunggu-tunggu. Bila di Jakarta, hujan deras yang turun selalu membuat was-was, karena itu ada isyarat banjir bakal datang. Tapi di Riau, turunnya hujanadalah yang ditunggu-tunggu. Bagaimana tidak, kata Sutopo, beberapa pekan terakhir ini, Riau disekap oleh kabut asap yang muncul akibat pembakaran lahan di hutan. Karena itu, saat mendengar hujan turun di Riau, Sutopo menyambutnya penuh rasa syukur.
" Alhamdulillah, Riau hujan," ucap Sutopo.
Terkait kabut asap sendiri, Sutopo mengatakan, operasi pemadaman pembakaran lahan dan hutan di Riau terus dilakukan. Dari pantauan satelit NOAA18, hotspot atau titik api di Riau yang terpantau sampai Minggu, 2 Maret, tercatat ada 54 titik.
" Titik api itu tersebar di Meranti 17 titik, di Inhil 15 titik, di Pelalawan 8 titik, di Bengkalis 7 titik, di Siak 4 titik, di Inhu ada 2 titik dan Dumai ada 1 titik," kata Sutopo.
Akibat kabut asap pula, warga Riau menderita. Aktivitas terganggu. Kesehatan pun terancam. Sekarang saja, jarak padang di Kota Pekanbaru hanya 800 meter saja. Bahkan di Dumai, jarak pandang hanya 200 meter, karena pekatnya asap. Kondisi tersebut, kata Sutopo, jelas berpengaruh pada menurunnya kualitas udara dan ini tidak sehat bagi kesehatan warga. " Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) pukul 15.00-16.00 WIB di
Pekanbaru 271 psi, di Rumbai 140 psi, di Minas 103 psi, di Duri 300 psi, di Dumai 130 psi, di Bangko 416 psi, dan di Libo 420 psi," katanya.
Karena paparan asap pula, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA, meningkat. Saat ini, penderita ISPA sudah mencapai 27.500 orang dan yang menderita asma sebanyak 1.031 orang. Operasi pemadaman pun tak mudah. Pekatnya kabut asap, membuat. operasi udara dengan 2 helikopter water bombing tidak bisa beroperasi. Satu heli untuk survey udara terbang jam 14.29 WIB ke arah Bengkalis, namun baru sampai Siak kembali lagi karena visibility 200 meter. " Tapi syukurlah, pada Minggu sore terjadi hujan di beberapa tempat yaitu di Bengkalis, di Bukit Batu, Desa Tanjung Leban. Disana hujan deras pada pukul 15.30 sampai dengan 16.30 WIB," katanya.
Hujan deras juga turun di Rokan Hilir, tepatnya di wilayah Tanah Putih. Hujan turun menderas dari pukul 15.00 sampai 16.15 WIB. Sementara di Dumai, tepatnya di desa Bagan Besar, turun gerimis dari pukul 15.30 s.d 16.00 WIB. Sedangkan di Kampar, hanya mendung. "Di Indragiri Hulu, turun hujan. Di Bengkalis di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil juga turun hujan. Di Inhil, di Gaung, turun hujan gerimis," kata dia.
Karena turunnya hujan, kata Sutopo, visibility pada Minggu sore, di Pekanbaru, meningkat menjadi 1200 meter. Personil TNI dan Polri bersama masyarakat, Manggala Agni, BKSDA, BPBD, SKPD terkait serta masyarakat terus memadamkan api di beberapa wilayah di Riau. Di Cagar Biosfir Giam Siak Kecil, berhasil dipadamkan titik api di lahan seluas 5 hektar. Masih banyak titik api dan air pun sulit didapat.
" Di TN. Tesso Nello, titik api 20 hektar sudah dipadamkan. Di Kerumutan Rengat 6 ha padam, masih banyak titik api, air sulit, ada resistensi masyarakat. Perlu dukungan petugas untuk pengamanan. Di Bukit Lengkung, telah padam titik api 2 hektar dari 16 hektar terbakar. Disana juga air sulit. Satgas Gakkum sendiri telah menangkap 26 orang, dan 1 perusahaan sedang disidik," tutur Sutopo.
Diperkirakan dari bulan Februari hingga Maret 2014 di ketiga wilayah, Aceh, Sumatera Utara dan Riau, akan makin kering karena hujan di bawah normal menjadi kering. Kondisi ini memicu pembakaran lahan dan hutan makin marak. Sutopo mengungkapkan, sebagian besar titik api berada di sekitar jalan atau dekat dengan permukiman. Ini menunjukkan bahwa kebakaran tersebut disengaja atau dibakar, baik oleh individu maupun kelompok.
Sutopo mengakui, 99 persen penyebab kebakaran lahan dan hutan di Indonesia adalah dibakar. Aparat, khususnya di daerah harus tegas menegakkan hukum. Sudah banyak peraturan yang dibuat terkait kebakaran lahan dan hutan, tapi tidak dijalankan.
"Padahal kunci utama pengendalian kebakaran lahan dan hutan adalah di penegakan hukum," katanya.
Sebagai pelengkap saya juga mewawancarai, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko. Hadi juga sependapat dengan Sutopo. Menurut Hadi, kabut asap terjadi lagi, karena penegakan hukum tak berjalan. Implementasi UU atau regulasi yang telah dibuat tidak pernah dijalankan. Padahal, Walhi dan organisasi peduli lingkungan lainnya, sudah berulang kali melaporkan kasus pembakaran hutan, tapi tak diindahkan.
"Ada banyak laporan kawan kawan Walhi ataupun organisasi lainnya kepada penegak hukum, namun tidak pernah ditindaklanjuti," katanya.
Sehingga, kata Hadi tidak ada efek jera terhadap para pelaku dan perusahaan yang melakukan pembakaran. Menurut dia, banyak perusahaan yang memiliki izin perkebunan, yang melakukan pembakaran. Tapi, tindakan kepada mereka tak maksimal. Akibatnya, pembakaran demi pembakaran terus terjadi. Kabut asap pun seakan jadi tradisi setiap tahunnya.
"Perusahaan banyak terlibat dan harus bertanggung jawab. Karena kebakaran itu berada dilahan lahan konsesi perusahaan, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan dan peraturan penaggulangan asap," kata Hadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H