MPR RI Â Pasca amandemen UUD 1945 tahun 1999 sampai dengan 2002, tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara yang memiliki kewenangan memilih Presiden/Wakil Presiden dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yang tertinggi bukan lagi lembaga MPR, yang tertinggi adalah UUD, demikian pasal 1 ayat (2) hasil amandemen.
Yang tertinggi adalah Hukum, UUD 1945 adalah Hukum tertinggi, yang menjadi pucuk dan puncak pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara. Â Pasal 1 ayat (3) Â menegaskan hal itu yang berbunyi : Â Negara Indonesia adalah Negara hukum.
Dibawah UUD adalah UU (undang-undang), adapun Ketetapan MPR yang masih ada sebatas hanya untuk Tap. No. 1 tahun 2003 yang dinyatakan masih berlaku.
Untuk itu, kebutuhan GBHN tidak harus selalu dimaknai kehadirannya melalui Ketetapan MPR RI.
Karena sesungguhnya MPR tidak lagi berkewenangan untuk membuat ketetapan. Â Kalau tetap pilihannya seperti itu, harus diawali terlebih dahulu melalui amandemen UUD.
Saya lebih memilih bukan dalam bentuk Ketetapan MPR, akan tetapi dapat melalui Undang Undang (UU). Yang pengerjaanya melalui Kajian Konstitusional MPR atas pasal-pasal UUD yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara.
GBHN adalah turunan pertama dari UUD yang memuat aturan lebih detail  dari pasal-pasal yang ada dalam UUD, yang menjadi arah dan pedoman dalam mencapai  Tujuan Negara sebagaimana dirumuskan  pembukaan UUD 1945.
GBHN Wajib dilaksanakan oleh Presiden dan semua Lembaga Negara sebagai panduan pelaksanaan penyelenggaraan negara yang setiap tahunnya dilaporkan dalam sidang tahunan MPR.
GBHN bukan program kerja pemerintahan negara, GBHN adalah haluan negara dalam garis-garis besar yang memuat prinsip dasar pelaksanaan pasal-pasal dalam UUD 1945 untuk jangka waktu panjang, setidaknya bisa dirancang untuk 100 tahun Indonesia merdeka (2045).
Dalam asumsi saya jumlah pasal yang dimuat dalam GBHN tidak terlampau banyak,Â
Setidaknya 3 kali jumlah pasal UUD. Karena hanya memuat prinsip-prinsip dasar saja. ( contoh : pasal 33, dalam hal investasi di era global, harus dirumuskan secara jelas dan tegas tentang aturan "sebesar-besarnya untuk rakyat").
Untuk hal-hal tersebut diatas, agenda kerja  yang dapat dilakukan oleh MPR  diantaranya :
- Dalam satu tahun pertama, melakukan kajian-kajian konstitusional terhadap pelaksanaann Pasal-pasal UUD, setidaknya dapat dibagi dalam beberapa bidang seperti, Bidang Politik, Bidang Ekonomi, Bidang Hukum, Bidang Agama, Sosial dan Budaya , dan bidang Pertahanan dan Keamanan. Yang  dikaji adalah sejumlah UU yang sudah ada selama ini sesuai dengan Bidang masing-masing.
- Tahun kedua, pengujian dan pemantapan naskah GBHN hasil kajian MPR di tahun pertama.
- Tahun ketiga, GBHN yang sudah diputuskan dalam sidang tahunan MPR ini, menugaskan kepada DPR dan Pemerintah dengan melibatkan DPD untuk membahas dan memutuskannya menjadi UU Â GBHN.
- Tahun keempat, Pelaksanaan GBHN oleh  Penyelenggara Negara, Presiden dan semua Lembaga Negara.
- Tahun kelima, pelaksanaan dan evaluasi untuk perbaikan 5 tahun selanjutnya, melalui sidang MPR Diakhir masa jabatan.
Kekuatan Hukum GBHN sangat kuat, UU adalah peraturan perundang-undangan satu tingkat dibawah UUD 1945. Dimana  Presiden/wakil presiden bersumpah/Berjanji : Akan melaksanakan UUD, UU  dan segala peraturan dengan selurus-lurusnya.
UU tentang GBHN yang dirancang untuk kebutuhan "100 tahun Indonesia Emas" inilah, yang akan menjadi arah dan pedoman bagi semua penyelenggara negara dalam melaksanakan segala kewenangan konstitusionalnya.
Padang, 22 Juli 2019,
Agun Gunandjar Sudarsa
Ketua FPG MPR RI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H