Dalam setiap amal perbuatan yang akan kita kerjakan, kita senantiasa dianjurkan dan bahkan diwajibkan untuk menata niat.Â
Hal ini dikarenakan sah atau tidaknya amal perbuatan kita beserta bobot kualitas dari amal perbuatan kita di hadapan Allah ditentukan oleh niat kita.Â
Jika niat kita dalam berbuat sesuatu adalah sebatas untuk mencari kepuasan dunia, maka sebatas itulah pulalah yang akan kita peroleh.Â
Dan jika niat kita dalam melakukan amal adalah semata-mata untuk mengharap ridha Allah, maka hal itu pula yang akan kita peroleh.Â
Hal ini sebagaimana penjelasan Baginda Rasulullah dalam hadits berikut:
"Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu akan dinilai berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya juga akan menuju kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk kepentingan dunia yang hendak dimilikinya atau pada seorang wanita yang hendak ia menikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia niatkan dalam berhijrah tersebut."
Berdasarkan penjelasan dalam hadits tersebut kiranya kita dapat memahami bahwa begitu pentingnya untuk menata niat agar amal kita dapat diterima oleh Allah SWT.
Hal ini dikarenakan niat merupakan ruh dari setiap amal perbuatan. Ketika kita melakukan amal apa saja yang murni kita tujukan untuk mengharap ridha Allah SWT, maka niat itu pun akan menjadi benih amal kebaikan di dalam hati kita.
Dan dari benih amal kebaikan ini kelak juga akan tumbuh menjadi ucapan-ucapan yang baik serta membuahkan perbuatan-perbuatan yang mulia lainnya.Â
Oleh sebab itulah, alangkah baiknya bagi kita untuk senantiasa bermuhasabah ketika kita hendak berbuat apa saja.
Misalnya saja dengan menanyai hati kita, Kenapa kita akan melakukan perbuatan tersebut? Benarkah perbuatan yang akan kita kerjakan tersebut benar-benar sudah kita niatkan untuk mendapatkan ridha Allah? Dan bagaimanakah cara yang dapat kita ikhtiarkan agar setiap amal kita kelak dapat menghadirkan ridha Allah?
Berbekal pertanyaan-pertanyaan yang demikian setidaknya kita akan dapat menimbang mengenai baik buruknya amal perbuatan kita, sehingga kita pun bersikap lebih tenang dan tidak tergesa-gesa dalam berbuat apa saja.
Sebab kita memiliki pertimbangan yang matang sebagai landasan dari perbuatan kita.Â
Diantara bentuk pertimbangan tersebut adalah kita meyakini bahwa dari apa yang telah kita niatkan maupun apa yang kita kerjakan, baik itu besar maupun kecil ukurannya, semuanya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.Â
Di dalam QS Al-Zalzalah ayat 7-8 Â telah dijelaskan:
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (biji sawi), maka dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan seberat dzarrah, maka dia (pun) akan melihat (balasan)-nya". Â
Berbekal pertimbangan kita atas adanya balasan dari Allah atas setiap amal perbuatan ini, maka kiranya hal ini dapat menjadikan kita semakin waspada terhadap setiap amal perbuatan kita, di mana bentuk dari kewaspadaan ini adalah mulai dari diri kita, yakni berawal dari niat yang kita bangun ketika hendak melakukan amal perbuatan.
Dengan adanya proses evaluasi yang kita lakukan secara terus menerus atas niat ini, maka hal ini akan menuntun kita dalam berbuat amal kebaikan dengan keadaan yang cenderung stabil, sebab pondasi atau landasan utamanya adalah untuk mendapatkan ridha Allah SWT semata.Â
Keajegan atau konsistensi dalam melakukan amal kebaikan ini merupakan bagian dari karunia Allah yang dilimpahkan pada kita dalam bentuk kesadaran diri atas identitas sekaligus peran kita sebagai makhluk-Nya di dunia, di mana dalam hal ini adalah semata-mata untuk menghamba kepada-Nya.
Bentuk kesadaran diri semacam inilah yang kemudian juga akan mengakar di dalam hati kita untuk membentuk kemurnian niat kita ketika beramal shalih yang semata-mata kita tujukan untuk mengharap ridha Allah SWT.Â
Adanya niat yang murni ini kelak juga akan melahirkan ketulusan dan keikhlasan kita dalam melakukan apa saja. Melalui keikhlasan ini pun kita akan mendapatkan perlindungan dari Allah SWT dari ragam godaan iblis dan bala tentaranya.
Sebab iblis maupun sekutunya tidak memiliki daya sedikit pun terhadap siapa saja yang Allah anugerahkan keikhlasan pada diri mereka.Â
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS Shad ayat 82-83 berikut:
"Iblis menjawab, 'Demi kekuasaan Engkau (ya Allah), aku (iblis) akan menyesatkan mereka (anak Adam) semuanya. Kecuali para hamba-Mu yang (Engkau anugerahkan) keikhlasan di antara mereka.'"
Dan sebagai pungkasan, marilah kita senantiasa mengevaluasi dan menata niat kita pada saat hendak mengerjakan apa saja, agar kelak kita termasuk dalam golongan orang yang beruntung sebab adanya ridha Allah yang menyertai kita.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing hati dan setiap langkah kita, sehingga apa saja yang kita kerjakan senantiasa terarah untuk mendapatkan ridha dari-Nya. Amiin YRA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H