Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Amplop Buwuhan dan Identitas Pemberinya

9 Juni 2021   01:12 Diperbarui: 9 Juni 2021   11:36 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi amplop buwuhan | Gambar oleh Andrew Dunstan via Unsplash

Dalam sebuah acara hajatan pernikahan, pada umumnya di antara hal yang dipersiapkan sebelumnya oleh mereka yang akan melaksanakannya adalah mendaftar sejumlah nama tamu undangan. 

Utamanya di musim pandemi sekarang ini, di mana sangat dihimbau bagi tiap-tiap penyelenggara acara agar membatasi jumlah kerumunan sebagai salah satu cara untuk memperhatikan protokol kesehatan.

Akibatnya, daftar nama-nama tamu undangan pun menjadi sangat penting untuk diperhitungkan keberadaannya demi membatasi jumlah kerumunan dari banyaknya tamu undangan yang kemungkinan akan hadir di acara pernikahan.

Selanjutnya, jika kita membahas tentang acara hajatan nikah ini tentu kurang lengkap rasanya kalau tidak membahas tradisi buwuhan yang hampir pasti akan selalu menyertainya. 

Ya, sebagaimana kita tahu bahwa buwuhan ini merupakan sebuah tradisi di mana satu pihak dalam hal ini biasanya adalah tamu undangan, mereka memberikan sejumlah uang atau barang berharga tertentu kepada pihak yang sedang menggelar hajatan pernikahan.

Tradisi buwuhan ini hampir pasti menjadi bahasan yang menarik untuk diperbincangkan. Terutama jika kita melihat beberapa pertimbangan dari seseorang pada saat memberikannya yang seringkali dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tertentu.

Di antara faktor yang umumnya menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk menentukan besar kecilnya buwuhan tersebut adalah karena alasan kedekatan hubungan keluarga, jauh dekatnya relasi pertemanan mereka, karena faktor balas budi atas buwuhan yang dulu pernah diberi serta pertimbangan pihak yang mengundang tersebut berlatar belakang berasal dari keluarga yang terpandang. 

Ragam pertimbangan itulah yang mungkin saja akan menjadi dasar bagi mereka pada saat menentukan besar kecilnya buwuhan yang akan diberi.

Selain pertimbangan tadi, tentu mereka masih harus mempertimbangkan kondisi keuangan yang mereka miliki pada saat itu. 

Bagi mereka yang tidak memiliki permasalahan yang cukup berarti dalam hal finansial, ini mungkin akan langsung mudah saja untuk menentukan besar kecilnya buwuhan yang akan mereka sampaikan.

Akan tetapi, jika kondisi keuangan mereka serba pas-pasan maka harus pandai mengatur anggaran jauh-jauh hari untuk kebutuhan buwuhan tadi. 

Atau, jika mereka masih belum memiliki dana buwuhan hingga tiba masanya menghadiri kondangan, maka biasanya yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah dengan mencari pinjaman dari saudara, tetangga maupun dari sahabat terdekat.

Musababnya adalah jika mereka sampai tidak memberi buwuhan apalagi tidak hadir dalam acara yang penuh kebahagiaan itu akan menimbulkan rasa malu yang luar biasa dari mereka yang telah mendapatkan undangan. 

Apalagi, sebelumnya mereka statusnya adalah pihak yang ketumpangan atau pernah menerima buwuhan dari pihak yang mengundang pada waktu sebelumnya.

Bisa jadi, jika sudah demikian keadaannya maka mereka pun akan mengupayakan segala cara agar tetap bisa memberi buwuhan meski upaya yang mereka tempuh adalah dengan mencari pinjaman.

Maka dari itu, pada sebuah peristiwa yang terkesan penuh dengan aura kebahagiaan itu mungkin saja adalah momentum yang penuh drama bagi pihak lain karena faktor tidak adanya dana untuk buwuhan tadi.

Dan mengenai permasalahan buwuhan ini sebenarnya bisa saja diantisipasi dengan cara tidak mencantumkan identitas pada amplop atau buwuhan yang diberi. Sehingga berapa pun nominal maupun bentuk buwuhan yang disampaikan tidak akan sampai ketahuan oleh mereka yang memiliki hajatan.

Masalah berikutnya adalah upaya cerdik ini seringkali kandas di hadapan sang penerima tamu yang duduk di kursi paling depan. Sebab, di hadapan merekalah selain para tamu undangan itu mengisi buku daftar hadir mereka pun akan ditandai amplop atau buwuhannya, baik itu dengan cara mencantumkan nomor daftar undangan atau dengan cara-cara tertentu yang sudah mereka persiapkan sebelumnya.

Belum lagi, mengenai buwuhan yang statusnya kosongan tanpa ini seringkali juga tidak disepakati oleh pihak lain, terutama bagi mereka yang memberi buwuhan dalam jumlah yang relatif besar. Sehingga seringkali ditemukan bahwa amplop buwuhan yang permukannya bersih dari tulisan identitas ini adalah dari mereka yang memberi dengan nominal yang kecil-kecil saja, meskipun mungkin juga tetap ada beberapa orang yang buwuh dengan nominal yang cukup besar dan tidak menyertakan identitas.

Sependek pengalaman saya, biasanya di antara pihak yang memberi buwuhan dalam nominal yang cukup besar dengan tanpa identitas ini adalah dari kalangan bu nyai atau ibu-ibu sepuh yang tampaknya sudah tak begitu menghiraukan lagi terhadap harta, apakah mereka akan dibalas atau tidak oleh pihak telah yang menerimanya di kemudian hari. Mereka inilah sebenarnya para malaikat penyelamat dari para tamu undangan yang buwuh dengan nominal yang kecil-kecil tadi.

Di sisi lain, dari pihak penerima buwuhan itu hampir pasti akan mengalami kesulitan manakala seluruh amplop buwuhan yang mereka terima itu tidak berisi identitas dari si pemberinya. Selain tidak tahu siapa saja yang telah memberi buwuhan, mereka pun pastinya juga akan bingung pada saat hendak membalas buwuhan dengan nilai yang sepadan di masa kelak.

Dan barangkali yang dapat mereka lakukan hanyalah sebatas memperkirakan latar belakang keuangan dari para tamu undangan yang telah hadir yang barangkali juga telah memberikan buwuhan, meskipun barangkali cara ini juga tidak bisa dipertanggung jawabkan akurasi kebenarannya.

Sebab, pasti juga ada diantara para tamu undangan yang memberi buwuhan tadi yang mungkin dari segi perekonomiannya terlihat biasa-biasa saja akan tetapi mereka memiliki sikap kedermawanan yang tidak terbayang dalam perkiraan.

Dan menurut pendapat saya, pemberian buwuhan itu sebaiknya dipertimbangkan secara cermat sesuai dengan kapasitas perekonomian pihak yang memberinya. Sehingga tidak ada kesan memaksakan diri dengan harus memberi buwuhan, terutama jika dananya tersebut diperoleh dengan cara berutang.

Meski di satu sisi, kita mungkin juga menyepakati bahwa utang budi orang lain hendaknya dibayar lunas, sehingga mereka yang pernah buwuh sebaiknya juga harus kita beri buwuhan. Akan tetapi, ada baiknya kita juga menyadari bahwa balas budi itu tidak harus diwujudkan dalam rupa yang sama.

Bisa saja kita membalas kebaikan orang yang telah memberikan bantuan materi kepada kita itu dalam bentuk tenaga, waktu maupun pikiran yang bisa kita beri untuk mereka. Sehingga dengan adanya perhatian yang tetap kita beri terhadap mereka ini diharap juga tidak akan mengganggu keharmonisan hubungan kita dengan mereka.

Dan, barangkali jika pada saatnya nanti kita telah memiliki kelonggaran dalam materi maka juga sangat baik bagi kita jika juga memberi bantuan dalam bentuk finansial kepada mereka. Sehingga tidak hanya bantuan berupa tenaga maupun pikiran saja yang akan kita hadirkan, akan tetapi dalam bentuk materi pun kita tunaikan, sepanjang hal itu masih berada dalam jangkauan kemampuan kita.

Jangan sampai kita yang berada dalam kondisi perekonomian yang serba pas-pasan dan karena merasa tidak enak hati jika tidak memberi buwuhan kepada pihak lain, hal ini kemudian justru menggiring kita pada lilitan utang akibat terlalu memaksakan diri melakukan hal yang sebenarnya di luar kemampuan kita.

Dan bukankah kita juga sama-sama tahu bahwa harapan utama dari mereka yang menggelar resepsi walimah itu adalah kehadiran kita yang sekaligus akan memberi doa restu. Dan bukan sekadar untuk mencari buwuhan. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun