Apalagi di dalam ayat yang lain Allah SWT juga telah memerintahkan:
Wa ankihu al-ayaamaa minkum wa ash-shaalihiina min 'ibaadikum wa imaaikum. In yakuunuu fuqaraa`a yughinihimu Allahu min fadhlih. Wallaahu waasi'un 'aliim.
"Dan nikahkanlah orang-orang yang bujang dan orang-orang yang shalih dari hamba sahaya laki-laki dan perempuan diantara kalian. Jika mereka (dulu) adalah orang-orang fakir niscaya Allah akan memberikan kekayaan pada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS An-Nuur 32)
Berdasarkan penjelasan pada ayat tersebut kiranya kita dapat memahami bahwa Allah SWT pasti akan menjamin kecukupan rezeki bagi para hamba-Nya yang telah menikah. Sehingga mereka pun tidak perlu merasa risau sebab perkara rezeki sebenarnya adalah berada pada wilayah kuasa-Nya yang akan mengaturnya.
Jika sudah demikian apakah kita lantas cukup berpangku tangan saja karena rezeki sudah ada yang mengatur semuanya? Tentu saja pemahamannya tidaklah demikian.
Sebab kita masih berkewajiban untuk mendayakan amanah yang Allah titipkan pada diri kita yakni berupa kemampuan untuk berikhtiyar dalam rangka menjemput rezeki yang menjadi jatah bagi kita dan keluarga kita.
Kita masih berkeharusan untuk menggunakan segenap kemampuan kita itu untuk mencari rezeki yang halal sambil terus memohon kepada Allah agar Dia senantasa menuntun kita sehingga dapat mencari dan memperoleh rizki dengan cara-cara yang diridhai oleh-Nya.
Dengan demikian kita pun berharap bahwa adanya rezeki tersebut akan membawa keberkahan baik untuk diri kita maupun keluarga kita.
Itulah diantara upaya yang dapat kita lakukan yang tujuannya adalah untuk menata hati kita agar dapat berbaik sangka atas ketentuan jodoh yang akan Allah sandingkan dengan diri kita. Alhasil, kita pun takkan lagi merasa takut, pesimis maupun khawatir untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
Dalam penjelasan kitab Ihyaa` 'Uluum Ad-Diin karya imam Al-Ghazali juga diterangkan:
Man nakaha lillaah wa ankaha lillaah istahaqqa wilayatallaah.