Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Upaya Meraih Husnul Khatimah

5 Mei 2021   08:38 Diperbarui: 5 Mei 2021   14:58 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Robert Collins via Unsplash

Kawan, Apabila kita ditanya tentang hal apa yang paling penting dalam kehidupan kita, tentu saja jawabannya adalah keimanan. Iman merupakan sendi yang paling dasar bagi kehidupan seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang Muslim. Tanpa memiliki keimanan sesungguhnya kehidupannya tidaklah berarti apa-apa. Ia akan seperti halnya bangunan gedung yang tidak memiliki pondasi yang kokoh.

Secara umum, iman merupakan sesuatu yang terdiri dari tiga unsur, yakni at-tashdîqu bil qalbi (membenarkan dengan hati), at-taqrîr bil lisâni (mengikrarkan dengan lisan), kemudian al-‘amalu bil arkân (mengamalkan dengan seluruh anggota badan).

Dengan demikian, saat seseorang menyatakan beriman kepada Allah SWT, maka ia tidak hanya cukup meyakini dalam hati saja, namun juga harus berikrar dengan ucapan dan menjalankan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya sebagai bukti yang diwujudkan atas keimanan tersebut. Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi SAW:

“(Wahai Rasul,) kabarkanlah kepadaku apa itu iman?” Nabi SAW menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, serta takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR Tirmidzi)

Melalui hadits tersebut kemudian kita pun mengenal enam rukun iman yang tidak boleh kita tinggalkan. Dan setiap mukmin dituntut untuk memegang teguh enam pilar keimanan tersebut sampai dengan akhir hayatnya. Hilangnya salah satu dari enam rukun iman ini dapat tentu membahayakan aqidah seseorang muslim sehingga akan menyebabkan mereka terjerumus dalam perilaku yang kufur.

Kendati demikian, setelah kita mengimani enam rukun iman ini tidak lantas kita boleh merasa aman dan tenang-tenang saja. Sebab praktik atau penerepan dari keimanan itu hakikatnya sangatlah luas, yakni menyangkut segenap aspek kehidupan manusia, termasuk diantaranya berkait dengan pola kehidupan kita dalam bersosialisasi dengan makhluk lainnya.

Karena itulah kita sering mendapati beberapa sikap yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW berkait dengan kesempurnaan iman ini. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim berikut:

“Tidaklah (sempurna) keimanan seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam perkara mu’amalah yang lain, Rasulullah SAW juga menjelaskan:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sepatutnya ia berkata yang baik atau hendaknya diam (saja); Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Penjelasan beliau dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa keimanan tidaklah serta merta dapat dilepaskan begitu saja dari perbuatan keseharian kita sebagai manusia. Bagaimana sikap kita dalam bergaul atau ber-mu’ammalah dalam kehidupan kita sehari-hari adalah sebagian tanda sejauh mana kualitas keimanan dalam diri kita. Dengan kata lain, akhlaq kita kepada Allah SWT sangat berkaitan erat dengan akhlaq kita terhadap seluruh makhluk-Nya.

Kawan, satu hal yang tidak kalah penting tentang keimanan ini adalah seringkali keimanan itu tidak selalu stabil atau ajeg. Bahkan tidak jarang kita mendapati peristiwa atau hikayah tentang seseorang yang dahulunya adalah ahli ibadah harus berakhir dengan buruk di akhir hayatnya atau meninggal dalam keadaan sû’ul khatimah karena ia tidak istiqamah dalam memegang teguh keimanannya.

Dan sebaliknya, ada juga kisah tentang mereka yang dicap sebagai pendosa dan bahkan dikucilkan oleh masyarakat karena begitu banyaknya dosa yang telah diperbuat. Di kemudian hari orang yang dicap buruk oleh masyarakat itu ternyata justru mendapatkan kebahagiaan lantaran ia telah bertaubat dengan sungguh-sungguh di tengah-tengah derasnya hinaan dan cibiran yang ditimpakan pada mereka.

Dengan demikian, kita pun menyadari bahwa kondisi keimanan seseorang bisa saja bersifat labil, terkadang ia dapat meningkat dan terkadang menurun. Kadang bertambah dan terkadang berkurang. Dalam hal ini kiranya kita pun tidak mudah merasa berpuas diri manakala memperoleh kondisi yang nyaman dalam beribadah sebagai tolok ukur kuatnya iman yang kita miliki. Sebab kita mewaspadai bahwa sebenarnya Tuhanlah yang sejatinya Maha Menentukan terhadap kondisi hati dan keimanan yang dimiliki oleh setiap hamba-Nya.

Seorang sahabat pernah bertanya pada Nabi Muhammad SAW:

“(Wahai Nabi,) ajarkanlah kepadaku tentang suatu ucapan di dalam Islam yang tidak akan saya tanyakan (lagi) kepada seorang pun selain darimu. Nabi pun menjawab, Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian bersikaplah istiqamah’.” (HR. Muslim)

Perintah Rasulullah SAW untuk ber-istiqamah tersebut merupakan salah satu tanda bahwa keimanan seseorang sesungguhnya tidaklah pasti selalu stabil keadaannya. Iman bisa saja meningkat dan dapat menurun. Suatu kali seseorang bisa saja sangat beriman, kemudian agak beriman, lalu bahkan tidak beriman sama sekali. Di kemudian hari, iman ini kembali ada, bertambah kuat, lalu turun lagi, dan seterusnya. Sehingga di sini, praktik untuk ber-istiqamah dalam memegang teguh keimanan sejatinya bukanlah perkara yang ringan.

Rasulullah SAW menghendaki keimanan yang tidak hanya teguh tetapi juga konsisten atau istiqamah. Dalam menjalani laku keimanan yang istiqamah ini dikatakan berat karena dalam mewujudkannya membutuhkan tekad yang sangat kuat (himmah) dari pelakunya, sehingga ia pun akan semakin berpeluang untuk dapat mengatasi masalah-masalah keimanan yang ada, terutama yang muncul dari dirinya sendiri.

Selain itu, juga diperlukan ikhtiar yang terus menerus dari diri sendiri untuk menyelesaikan setiap permasalahan keimanan yang timbul dari diri sendiri ini. Dan yang perlu kita sadari adalah bahwa keimanan tersebut pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk anugerah dari Allah subhânahu wata‘âlâ kepada hamba-Nya yang harus senantiasa dijaga dengan sebaik-baiknya.

Semoga Allah SWT menganugerahkan kekuatan dan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita memiliki kesempatan untuk menjaga dan memperbaiki kualitas keimanan kita dan kita pun memiliki keimanan yang membawa kemasalahatan bagi lingkungan kita. Dan semoga Allah menetapkan keimanan kita sehingga kehidupan kita dapat berakhir dapat dalam keadaan yang husnul khatimah. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun