Penjelasan beliau dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa keimanan tidaklah serta merta dapat dilepaskan begitu saja dari perbuatan keseharian kita sebagai manusia. Bagaimana sikap kita dalam bergaul atau ber-mu’ammalah dalam kehidupan kita sehari-hari adalah sebagian tanda sejauh mana kualitas keimanan dalam diri kita. Dengan kata lain, akhlaq kita kepada Allah SWT sangat berkaitan erat dengan akhlaq kita terhadap seluruh makhluk-Nya.
Kawan, satu hal yang tidak kalah penting tentang keimanan ini adalah seringkali keimanan itu tidak selalu stabil atau ajeg. Bahkan tidak jarang kita mendapati peristiwa atau hikayah tentang seseorang yang dahulunya adalah ahli ibadah harus berakhir dengan buruk di akhir hayatnya atau meninggal dalam keadaan sû’ul khatimah karena ia tidak istiqamah dalam memegang teguh keimanannya.
Dan sebaliknya, ada juga kisah tentang mereka yang dicap sebagai pendosa dan bahkan dikucilkan oleh masyarakat karena begitu banyaknya dosa yang telah diperbuat. Di kemudian hari orang yang dicap buruk oleh masyarakat itu ternyata justru mendapatkan kebahagiaan lantaran ia telah bertaubat dengan sungguh-sungguh di tengah-tengah derasnya hinaan dan cibiran yang ditimpakan pada mereka.
Dengan demikian, kita pun menyadari bahwa kondisi keimanan seseorang bisa saja bersifat labil, terkadang ia dapat meningkat dan terkadang menurun. Kadang bertambah dan terkadang berkurang. Dalam hal ini kiranya kita pun tidak mudah merasa berpuas diri manakala memperoleh kondisi yang nyaman dalam beribadah sebagai tolok ukur kuatnya iman yang kita miliki. Sebab kita mewaspadai bahwa sebenarnya Tuhanlah yang sejatinya Maha Menentukan terhadap kondisi hati dan keimanan yang dimiliki oleh setiap hamba-Nya.
Seorang sahabat pernah bertanya pada Nabi Muhammad SAW:
“(Wahai Nabi,) ajarkanlah kepadaku tentang suatu ucapan di dalam Islam yang tidak akan saya tanyakan (lagi) kepada seorang pun selain darimu. Nabi pun menjawab, Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian bersikaplah istiqamah’.” (HR. Muslim)
Perintah Rasulullah SAW untuk ber-istiqamah tersebut merupakan salah satu tanda bahwa keimanan seseorang sesungguhnya tidaklah pasti selalu stabil keadaannya. Iman bisa saja meningkat dan dapat menurun. Suatu kali seseorang bisa saja sangat beriman, kemudian agak beriman, lalu bahkan tidak beriman sama sekali. Di kemudian hari, iman ini kembali ada, bertambah kuat, lalu turun lagi, dan seterusnya. Sehingga di sini, praktik untuk ber-istiqamah dalam memegang teguh keimanan sejatinya bukanlah perkara yang ringan.
Rasulullah SAW menghendaki keimanan yang tidak hanya teguh tetapi juga konsisten atau istiqamah. Dalam menjalani laku keimanan yang istiqamah ini dikatakan berat karena dalam mewujudkannya membutuhkan tekad yang sangat kuat (himmah) dari pelakunya, sehingga ia pun akan semakin berpeluang untuk dapat mengatasi masalah-masalah keimanan yang ada, terutama yang muncul dari dirinya sendiri.
Selain itu, juga diperlukan ikhtiar yang terus menerus dari diri sendiri untuk menyelesaikan setiap permasalahan keimanan yang timbul dari diri sendiri ini. Dan yang perlu kita sadari adalah bahwa keimanan tersebut pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk anugerah dari Allah subhânahu wata‘âlâ kepada hamba-Nya yang harus senantiasa dijaga dengan sebaik-baiknya.
Semoga Allah SWT menganugerahkan kekuatan dan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita memiliki kesempatan untuk menjaga dan memperbaiki kualitas keimanan kita dan kita pun memiliki keimanan yang membawa kemasalahatan bagi lingkungan kita. Dan semoga Allah menetapkan keimanan kita sehingga kehidupan kita dapat berakhir dapat dalam keadaan yang husnul khatimah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H