Tentu saja, dengan harga yang hampir dua kali lipat dari harga pasaran ini menjadi tawaran yang menggiurkan bagi si pemilik sawah sekaligus pemilik lahan yang berlokasi di sekitarnya.
Oleh sebab itulah, tidak mengherankan jika kemudian para pemilik sawah yang lokasinya berdekatan itu pun ikut menawarkan aset mereka pada pihak Pertamina agar mendapat kompensasi yang serupa. Dan tentu saja, tawaran itu tak dihiraukan sebab tak masuk rencana usaha.
Kembali lagi ke bahasan warga Desa Sumurgeneng tadi. Jika kita melihat fenomena masyarakat yang begitu mudahnya membelanjakan kembali "harta runtuhan" itu, sebenarnya penulis sendiri merasa ngeri-ngeri sedap.
Penulis merasa sedap sebab ikut bergembira melihat keadaan mereka yang memperoleh gelimang harta yang dapat segera mereka gunakan. Misalnya saja, untuk membeli barang yang kategorinya sangat mewah untuk sebagian kalangan ini.
Akan tetapi, perasaan ngeri juga terlintas dalam angan penulis. Kengerian ini timbul ketika penulis membayangkan bahwa faktor pendorong mereka berbelanja barang mewah itu adalah karena euforia atau latah, sebab ikut-ikutan saudara-tetangga.
Berbelanja barang dengan motif ikut-ikutan itu jelas akan menimbulkan dampak yang kurang bahkan tidak baik pada kondisi finansial mereka. Sebab, setiap keluarga pastinya memiliki latar belakang perekonomian yang berbeda.
Bisa jadi, mereka yang begitu mudahnya berbelanja barang mewah itu dilatarbelakangi oleh karena mereka memiliki aset lain yang masih dapat diandalkan. Entah itu berupa tanah yang berada di lokasi yang lain atau berupa penghasilan yang nilainya lumayan.
Namun sebaliknya, jika yang mereka jadikan andalan untuk belanja barang mewah itu ternyata adalah bersumber dari satu-satunya aset tanah yang telah mereka jual pada pihak Pertamina, tentu ini merupakan sebuah indikasi kecerobohan yang dapat berujung penyesalan.
Sebab sudah pasti, nilai barang mewah (kendaraan) mereka, sebagaimana yang sudah penulis singgung di atas tadi, nilainya akan mengalami penyusutan (depresiasi) seiring berjalannya waktu.
Oleh sebab itulah, begitu pentingnya edukasi finansial bagi masyarakat tersebut agar mereka dapat mengelola harta atau aset tersebut secara bijak. Misalnya saja, pendayaannya untuk modal usaha maupun mengalihkannya ke aset tanah yang berlokasi di wilayah lain, atau istilah familiarnya biasa kita kenal dengan tukar guling.
Dengan mengalihkan aset mereka untuk sektor produktif tersebut, kiranya mereka akan terhindar dari bahaya kemubaziran dan potensi kemiskinan yang bersumber dari perilaku konsumtif mereka sendiri yang ujung pangkalnya adalah penyesalan di kemudian hari.