Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ujian Nabi Ayyub

18 Januari 2021   17:19 Diperbarui: 19 Januari 2021   05:32 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Canva-Comica, Olah pribadi

Bangsa Indonesia dan bahkan hampir seluruh bangsa di dunia saat ini benar-benar mengalami derita yang dialami oleh Nabi Ayyub. Mengalami kesakitan yang bertubi-tubi tanpa tahu kapan masa berakhirnya, kecuali hanya menebak jika indikatornya demikian berarti sakit, jika tak ada indikator berarti sehat.

Jika sudah melewati masa sekian hari dan masih hidup berarti sembuh. Keadaan ini terus berlangsung hingga mereka benar-benar merasa ragu akan keadaan diri mereka sendiri, sebenarnya benar-benar sakit atau hanya sekadar gejala sakit yang dibenar-benarkan.

Kemudian, dengan beberapa temuan yang mereka miliki kontan mereka beranggapan jika sudah diberi ini pasti tidak akan pernah sakit lagi, tanpa sadar sepenuhnya siapa sebenarnya yang bisa memberi sakit dan siapa yang memberi kesembuhan.

Kondisi mereka yang sedemikian ini jelas tidak sepadan jika dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi Ayyub, yang seakan tak pernah merasa mengeluh atas apa yang dideritanya.

Seakan penderitannya ini membuat si setan dan iblis pun kecele dan menyesal sepenuhnya karena dulu mereka sangat curiga bahwa keadaannya yang rajin beribadah dan mendekat pada Tuhan itu lantaran kondisi kesehatan, bergelimang harta maupun fasilitas-fasilitas lain yang dimilikinya.

Oleh karena begitu kuatnya anggapan mereka ini, mereka pun mengemis pada Tuhan agar mencerabuti segala kenikmatan yang disandang oleh Nabi Ayub itu sebagai ujian atas keimanannya.

Namun, ternyata keimanan Nabi Ayyub tak sesederhana dugaan mereka. Ia tetaplah sosok yang khusyuk yang mampu berasyik masyuk dengan Tuhannya terlepas ada atau tak adanya nikmat yang hinggap dalam kehidupannya.

Beliau senantiasa menyadari bahwa kebahagiaan maupun pesakitan sejatinya merupakan ragam bentuk rahmat dari Tuhan, sehingga dengan begitu mudahnya beliau tetap rela saat Tuhan berbuat apa saja pada dirinya yang sudah menjadi kehendak-Nya.

Tak pernah sekalipun beliau protes apalagi mengeluh atas segala ketetapan-Nya itu meski menyadari sepenuhnya bahwa yang hendak beliau alami adalah penderitaan.

Telah akrab dalam pemahaman kita salah satu munajat beliau kepada Tuhan yang terabadikan di dalam kitab suci Al-Qur`an saat menjalani berbagai ujian berupa penyakit yang seakan tak berkesudahan itu:

Robbii annii massaniya adh-dhurru wa anta arhamu ar-raahimiin. Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah memperoleh sebuah ujian berupa rasa sakit yang teramat sangat dan sebenarnya Engkau-lah Dzat Yang Maha Mengasihi.

Di tengah derita yang dialaminya itu, beliau tak hendak meminta kepada Tuhan untuk lekas disembuhkan dari penyakit, akan tetapi justru semakin memesrai rasa sakit itu sebagai anugerah cinta dari Tuhan yang mengasihinya.

Beliau senantiasa mampu menjalani rasa sakit dengan penuh ketabahan sebab senantiasa menyadari masih adanya kenikmatan lain di balik rasa sakit itu, yakni keimanan dan perhatian dari Tuhan.

Sehingga dengan dilimpahkannya keimanan dari Tuhan itu, beliau dengan mudahnya memahami sekaligus menjalani bahwa ujian sakit yang dideritanya adalah bagian dari rasa kasih-Nya kepada dirinya.

Sungguh beruntung Nabi Ayyub yang memiliki keteguhan keimanan sekaligus pemahaman yang demikian ini dan sungguh bahagialah siapa saja yang dianugerahi oleh Tuhan kadar keimanan dan pemahaman sebagaimana yang dimiliki oleh Nabi Ayyub ini.

Kiranya apa saja yang sudah beliau alami itu sudah cukup menjadi bukti sahih yang kuat bagi kita bahwa keimanan yang melekat pada Nabi Ayyub ini merupakan bentuk anugerah dan ma'unah dari-Nya yang takkan mampu digoncang oleh ujian apapun, sekalipun itu adalah hilangnya kesehatan, kekayaan, kedudukan, maupun jabatan.

Sebab beliau senantiasa meyakini bahwa inti kebahagiaan pada diri seorang hamba bukanlah ditentukan dari hal yang sifatnya materi, melainkan dari keimanan mereka yang dititipkan oleh Tuhan di dalam diri mereka. Sehingga dengan keadaan yang demikian inilah ia akan dapat memancarkan jiwa yang lapang saat menghadapi bermacam bentuk ujian. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun