Kemarin sore (14/1), di hari yang sama setelah saya mendengar berita duka tentang wafatnya Syekh Ali Saleh Mohammed Ali Jaber atau yang kita kenal dengan nama Syekh Ali Jaber, secara tak sengaja saya mendapatkan rekaman ceramah beliau yang diputar pada salah satu radio lokal.
Dalam isi ceramahnya itu, beliau menyampaikan materi tentang motivasi membaca Al-Qur`an. Diantara penjelasan yang beliau terangkan adalah tentang keutamaan membaca Al-Qur`an dengan mengutip salah satu hadits Baginda Nabi Muhammad SAW:
Iqra`u Al-Qur`aana fa innahu ya`ti yaum al-qiyaamati syafii'an li ashhaabihi. Bacalah Al-Qur`an, karena sesungguhnya ia (Al-Qur`an) akan datang pada saat hari kiamat kelak sebagai penyelamat bagi para sahabatnya.
Saya serasa mendapat pengetahuan baru dari beliau ketika beliau menyitir pesan Baginda Rasul ini, khususnya penjelasan beliau tentang tersematnya kata 'ashhaabihi' (sahabat-sahabat Al-Qur`an).
Menurut penuturan beliau, kata 'ashhaab' (sahabat) tersebut merupakan pilihan diksi yang menarik jika dibandingkan dengan kata pembukanya, yakni 'iqra`u' (bacalah).
Seharusnya, jika menggunakan kata yang sepadan dengan kata yang awal tadi (iqra`u), maka yang digunakan bukanlah kata ashabihi (sahabatnya), melainkan qurraa`ihi (pembacanya).
Kemudian, jika dirangkaikan arti dari kalimat itu seluruhnya bisa saja ia akan berarti: Bacalah Al-Qur`an karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat kelak sebagai penyelamat bagi para pembacanya (Iqra`u Al-Qur`ana fa innahu ya`ti yaum al-qiyaamati syafii'an li qurraa`ihi).
Adapun penjelasan Syekh Ali Jaber mengenai penggunaan kata sahabat (ashhaab) oleh Baginda Nabi ini sebenarnya sudah sangat tepat sebab di dalamnya seakan telah menyiratkan makna yang jauh lebih dalam jika dibandingkan kata pembaca (qurraa`).
Menurut pendapat beliau, hal ini dikarenakan orang yang membaca Al-Qur`an itu belum tentu ia dapat menjadi sahabatnya. Adapun penyebab dari hal itu adalah jamaknya orang yang hanya membaca Al-Qur`an dan berhenti pada tataran bacaan saja. Bacaannya tidak berlanjut pada upaya untuk semakin memahami dan apalagi mengamalkan.
Terus terang, saya sependapat dengan isi tausiyah beliau itu. Sebab, jika kita melihat beberapa fenomena yang tampak di sekeliling kita, kita pun akan mendapati beberapa pihak yang justru menggunakan ayat tertentu untuk mengkotak-kotakkan dan memberi label pada kelompok yang lain.
Lebih dari itu, jika kita mau lebih telaten untuk menoleh pada cermin sejarah, kita kiranya akan menemukan sebuah fakta dimana ternyata juga ada pihak yang menggunakan Al-Qur`an sebagai alat untuk kepentingan diplomasi, memecahbelah umat, demi memuluskan kepentingan mereka untuk menyebarluaskan keyakinan, mengumpulkan pundi-pundi harta, dan mengakomodasi keping-keping kekuasaan.
Menurut penuturan beliau, untuk dapat semakin memahami Al-Qur`an, seseorang sepatutnya membiasakan diri untuk rutin membaca dan mengkaji Al-Qur`an di setiap waktu.
Dalam hal ini, beliau meneladankan kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang biasa mengkhatamkan Al-Qur`an setiap seminggu sekali. Kemudian, pada generasi tabi'iin ada Imam As-Syafi'i yang rutin khatam 60 kali selama bulan Ramadhan, atau dua kali khatam dalam sehari.
Dan menurut cerita dari pengalaman beliau sendiri, beliau telah terbiasa menghabiskan bacaan 8 juz di kendaraan, di sela-sela 3 jam kemacetan di Jakarta. Di tengah-tengah waktu yang paling tidak disukai oleh hampir setiap pengendara inilah beliau biasa mendaras Al-Qur`an.
Hal itu senantiasa beliau tradisikan sebab, selain dari waktu inilah beliau hanya memiliki waktu untuk berda'wah dan beristirahat.
Akan tetapi, dalam mau'idzhah-nya itu beliau takhendak meminta siapa saja untuk meniru contoh yang tingkatannya terlampau berat untuk ukuran orang awam itu. Dan termasuk diantara orang awam tersebut adalah saya sendiri.
Beliau menganjurkan kita cukup untuk membiasakan diri membaca satu juz saja setiap hari. Satu juz yang susunannya adalah 20 halaman jika diukur dengan mushaf Al-Qur`an cetakan dari Qudus maupun cetakan versi 'Utsmani.
Jika 20 halaman ini masih terlalu berat bagi kita, sebab pada umumnya orang-orang Indonesia tidak suka yang berat-berat dan maunya yang ringan-ringan saja. Beliau pun menyarankan kita agar membagi pembacaannya untuk mengiringi shalat lima waktu, yakni kita membacanya 4--20 dibagi 5--halaman setiap waktunya.
Dan jika 4 halaman ini dirasa masih cukup berat bagi kita, kita juga dapat membaginya lagi dengan membaca 2 halaman atau selembar saja. Masing-masing dibaca sebelum dan setelah menunaikan shalat fardhu.
Dan jika ternyata ini masih cukup berat bagi kita, maka kita tetap harus mengupayakan membaca Al-Qur`an itu sesuai dengan kemampuan kita dan jangan sampai sama sekali meninggalkannya.
Dalam hal ini beliau telah meneladankan kisah salah seorang sahabat Nabi yang bernama Khalid bin Walid yang menjelang wafatnya begitu ingin dekat dengan Al-Qur`an.
Begitu beliau telah berada pada jarak yang begitu dekat dengan Al-Qur`an, sangat tampak duka yang terpancar dari dalam hatinya ketika mengakui lembaran perjalanan kehidupan.
Pada waktu itu, beliau menyesal luar biasa, lantaran tak bisa membangun keakraban yang sedekat mungkin dengan Al-Qur`an. Beliau tak mampu  banyak-banyak membacanya sebab terlampau sibuk menjalankan misi risalah di medan pertempuran.
Oleh karena terlalu sibuk menjaga amanah dari Baginda Nabi serta para pemimpin pengganti beliau inilah, sahabat yang bergelar Pedang Allah yang Terhunus (Saifullah Al-Masluul) ini merasa sangat kurang mampu untuk mendekatkan keintimannya dengan Al-Qur`an.
Selanjutnya Syeikh Ali Jaber juga menambahkan, kita yang tak memiliki kesibukan yang luar biasa jika dibandingkan sahabat Khalid bin Walid tadi sepatutnya merasa sangat malu jika tak bisa mengakrabkan diri kita dengan Al-Qur`an. Apalah nilai kesibukan yang kita miliki sebab bekerja maupun belajar jika dibandingkan dengan perjuangan maha berat yang dialami oleh sahabat Nabi ini.
Demikianlah diantara ulasan materi ceramah beliau yang sempat saya dengar melalui siaran radio kemarin. Mudah-mudahan pesan yang telah beliau sampaikan tersebut dapat kita amalkan.
Dan semoga untaian ceramah-ceramah beliau akan dapat menyalakan kembali bara cinta kita yang sejati kepada Al-Qur`an, kepada Dzat yang telah menfirmankannya, sosok yang telah menyampaikan dan meneladankannya, dan pada seluruh semesta yang dikasihi-Nya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H