Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Shalat dan Ajaran Keteraturan Hidup di Dalamnya

15 Januari 2021   08:40 Diperbarui: 15 Januari 2021   15:15 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang sedang shalat (Tirto) 

Jika kita mau mengamati dan menengarai, diantara penyebab utama terjadinya segala permasalahan di dunia ini adalah ketidakteraturan. Ketidakteraturan merupakan sebuah potret kecil dimana seorang individu, kelompok, instansi maupun lembaga, belum atau tidak dapat menempatkan segala sesuatunya secara adil.

Karena takmampu menempatkan segala sesuatunya secara adil maka dampaknya pun adalah kesemerawutan, keruwetan dalam tatanan tempat, sistem, maupun kehidupan.

Dalam ajaran agama yang kita yakini, yakni agama Islam, kita senantiasa diajari, dibimbing dan diarahkan untuk terus belajar menjaga keteraturan itu.

Misalnya saja, kita diajari untuk menjaga keteraturan terhadap waktu dan aktivitas, yakni melalui ibadah shalat yang tak bisa kita tentukan waktu maupun tata cara pelaksanaannya semau kita sendiri, kecuali karena ada alasan-alasan tertentu sehingga kita mendapatkan keringanan (rukhshoh) untuk mendirikannya. 

Misalnya saja karena kita dalam keadaan perjalanan yang sangat jauh (2 marhalah), sehingga pelaksanaan shalat bisa dikumpulkan (jama') atau diringkas (qashar). 

Baik disadari atau tidak, dari ritual shalat inilah kita pun sebenarnya mulai diajari untuk mendisiplinkan diri kita sendiri untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan apa saja sesuai waktu yang telah ditentukan. 

Dan di samping itu, di dalam pelaksanaan ibadah shalat ini seakan terkandung sebuah pelajaran yang tersirat, yakni sebuah pekerjaan yang baik sepatutnya juga dikerjakan pada waktu yang tepat. 

Sebab pekerjaan yang dianggap baik itu manakala dilaksanakan pada saat yang tak tepat, kemungkinan besar hasilnya adalah tidak maksimal dan bahkan bisa juga mengarah pada keburukan. 

Mari kita buat sebuah contoh yang sederhana saja. Seseorang yang bekerja di kantor, sawah, toko, atau dimana saja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pada umumnya kita memandang hal ini adalah sebagai perkara yang baik. 

Namun, jika ia datang terlambat pada saat melaksanakan pekerjaan itu dan bahkan menjadikannya sebagai kebiasaan, sangat mungkin hal ini akan menyebabkan perkara yang buruk bagi pelakunya, keluarganya, dan bahkan tempat dimana ia bekerja. 

Sebab, ia akan berpotensi mengganggu produktivitas diri sendiri, mengganggu kedisiplinan karyawan yang lain, serta tidak mampu secara maksimal dalam melayani pelanggan yang imbas berikutnya pada produktivitas perusahaan tempat dimana ia bekerja. 

Selain dari contoh yang saya sajikan tadi, tentu kita masih bisa mengembangkan sendiri konteks mengenai ketepatan waktu ini untuk berbagai aktivitas yang lain. 

Dengan melaksanakan shalat secara tepat waktu, syukur-syukur jika bisa di awal waktu dan berjamaah inilah, maka diharapkan para pengamalnya akan terbiasa berdisiplin pada saat melaksanakan aktivitas lainnya. 

Diantara keutamaan berikutnya dari melaksanakan shalat ini adalah kita juga digaransi oleh Allah akan dapat tercegah dari perbuatan keji dan mungkar. Inna ash-shalaata tanhaa 'ani al-fahsyaai wa al-munkar. 

Yang kemudian mungkin jadi pertanyaan bagi diri kita adalah, apakah semua jenis shalat itu masuk dalam kategori yang akan mendapatkan jaminan dari Allah dapat menghindarkan si pelakunya dari sifat keji ini? Ataukah hanya berlaku untuk shalat-shalat tertentu saja dengan pertimbangan khusus, misalnya dari aspek kualitas kekhusyukannya?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, marilah kita dekati pertanyaan itu dengan memahami sebuah gambaran yang lebih mudah. 

Secara nalar, pada umumnya kita tak akan berani berbuat kesalahan ketika ada seseorang yang kita takuti atau seseorang yang kita sungkani sedang berada di dekat kita. 

Kita misalnya adalah seorang pencuri, tak mungkin akan berani mencuri ketika ada polisi atau kerumunan massa yang senantiasa bersiaga atas diri kita maupun barang yang hendak kita ambil. 

Kita jelas tak mungkin akan melakukan pencurian itu, kecuali mungkin kita adalah orang yang bodoh atau orang yang senang mencari petaka. Kita akan enggan untuk melakukan pencurian itu sebab sikap waspada dengan penuh kesadaran bahwa adanya pihak tertentu yang senantiasa mengawasi setiap gerak-gerik kita beserta barang yang hendak kita ambil.

Keadaan macam inilah yang sebenarnya mirip dengan perilaku orang yang sedang melaksanakan shalat tadi. Mereka tak mungkin akan berani untuk berbuat keji sebab senantiasa mengingat dan menyadari bahwa Allah selalu membersamai dan mengawasi mereka, kapan pun dan dimana pun berada. 

Ketika sedang shalat, entah itu dalam kadar kekhusyukan yang sedikit ataupun melimpah, tentunya seseorang pasti akan mengingat Allah. Hal itulah yang sebenarnya juga sesuai dengan salah satu fungsi shalat itu sendiri, yakni untuk mengingat Allah. 

Perihal ini juga telah Allah jelaskan di dalam Al-Qur'an mengenai fungsi ibadah shalat ini, yakni sebagai media untuk mengingat atau berdzikir kepada-Nya. Wa aqimi ash-shalaata lidzikrii. 

Orang yang hatinya senantiasa mengingat Allah tidak mungkin ia akan mengerjakan perbuatan yang mungkar. Sebab ia senantiasa menyadari keberadaan Allah yang senantiasa mengawasinya di setiap keadaan maupun di setiap waktu. 

Di samping terdapat pelajaran tentang kedisiplinan untuk menjaga keteraturan aktivitas dan waktu, dari amalan shalat tersebut kita juga dilatih untuk menjaga kualitas sebuah ibadah di tengah beragamnya kuantitas rakaat dan waktu-waktu dalam melaksanakannya. 

Kapan pun waktunya dan berapa pun jumlah rakaat yang harus didirikan, kualitas shalat seorang hamba haruslah tetap sama baiknya.

Pada perihal keragaman waktu dan rakaat inilah yang seakan juga tersirat sebuah pelajaran berharga lainnya bagi kita bahwa bagaimanapun adanya variasi cobaan yang dialami oleh manusia, sepatutnya hal ini tidak akan mengurangi kualitas atau kadar ketaqwaan yang mereka miliki kepada Allah SWT. 

Nilai-nilai ketaqwaan yang seorang hamba peroleh ketika melaksanakan shalat inilah yang harapannya akan semakin mengantar keshalihan mereka di tengah kehidupan manusia dan makhluk yang lainnya.

Dengan segala potensi ini, maka menjadi sangat pantas jika kemudian shalat ini dijadikan sebagai indikator utama dalam mengukur baik buruknya amal perbuatan seorang hamba ketika di akhirat kelak. Jika kualitas shalatnya baik maka juga baiklah seluruh amal perbuatannya. Begitu pula sebaliknya.

Sebab, melalui shalat inilah akan tercermin mengenai ukuran tentang seberapa khusyuk seorang hamba dalam mengingat Tuhannya dan seberapa jauh dampak dari kekhusyukan mengingat Tuhan itu dalam membentuk segala perilakunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun