Apalagi di zaman kiwari ini seseorang begitu gampangnya diiming-imingi dengan barang baru apa saja, bergaul dengan siapa saja, sehingga tak ayal jika kemudian kedodoran mengikuti gaya hidup mereka. Dan sebagai dampaknya, mereka pun akan menggali upaya untuk mencari dana dari pihak mana saja.Â
Upaya yang dapat ditempuh oleh seseorang untuk memperoleh pinjaman ini pun beragam, mulai dengan cara nyeblak atau pinjam saudara, sahabat, maupun tetangga; atau dengan cara meminjam pada lembaga keuangan.Â
Cara nyeblak biasanya ditempuh seseorang sebab tidak ada risiko membayar bunga atas pokok pinjaman, sekaligus adanya kemudahan yang lain yakni bisa mengulur waktu jika belum dapat melunasi, tanpa risiko membayar pinalti atau bunga yang makin membengkak.Â
Akan tetapi pilihan ini bukan berarti bebas konsekuensi, sebab ia pun berpeluang menjauhkan kedekatan si pemintanya dengan mereka yang memberi pinjaman, lantaran merasa dikhianati dengan adanya perilaku menunggak utang atau bahkan lari dari tanggung jawab untuk membayarnya.Â
Inilah yang pada akhirnya seperti yang digambarkan pada petuah pembuka wacana tadi, yakni memberi utang berpotensi menghilangkan dua hal, yakni persahabatan sekaligus uang.Â
Selanjutnya, mengenai pilihan berutang pada lembaga keuangan biasanya menjadi pilihan seseorang untuk menghindari rasa malu dari para saudara, sahabat, dan tetangga kanan-kiri sebab tak ingin terdengar kabar mengenai krisis finansial yang tengah dialami. Cukup dengan "menyekolahkan" barang berharga tertentu, cairlah uang yang mereka harapkan.Â
Pilihan yang satu ini lazimnya memiliki konsekuensi yang tak kalah besar dibandingkan pilihan pertama tadi manakala seseorang tak memiliki konsep sekaligus praktik manajemen keuangan yang baik dan benar dalam mengelola usaha, uang dan utang.Â
Sebab, begitu mendapati uang yang melimpah dalam genggaman, biasanya seseorang seringkali lalai bahwa sejatinya ia hanyalah titipan yang harus lekas dibayar kepada si pemberinya.Â
Khususnya ketika utang ini digunakan untuk modal usaha dan mengalami kemajuan. Biasanya seseorang yang belum paham dengan pos anggaran keuangan ini akan jumbuh untuk mengalokasikan dana antara pokok pinjaman, bunga, dan laba bersih usaha. Sebab yang menjadi fokus mereka adalah omzet atau laba kotor.Â
Begitu omzet mereka raih, seringkali mereka tak sadar bahwa di baliknya masih terdapat kewajiban untuk menanggung induk utang sekaligus anaknya (baca: bunga).
Masalah bisa saja menjadi bertambah pelik manakala usaha yang sedang dijalani itu ternyata berkembang dengan tidak lancar atau tak sesuai harapan, terlepas dari faktor apa saja yang menyebabkannya. Sebab makin beratlah tanggungan yang harus ia pikul.Â