Dari sikap sadar akan kekurangan diri inipun kiranya akan melahirkan inisiatif untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing dengan cara yang legal dan saling menguntungkan satu sama lain, atau kita biasa mengenalnya dengan win-win solution.
Itulah diantara bentuk kasih sayang dari Tuhan yang nyata kita rasakan sebab adanya perbedaan tersebut.Â
Selain itu, dengan menjalankan transaksi yang legal dengan diperkuat oleh landasan nilai-nilai agama dan kemanusiaan inilah yang selayaknya juga akan menegaskan pada diri kita bahwa tidak ada alasan yang dapat dibenarkan mengenai cara-cara atau praktik tertentu untuk memiliki hak milik orang lain, kecuali melalui ikatan mu'amalah/transaksi yang dibenarkan tadi.Â
Sebab, bagaimanapun dalam hidup ini hakikatnya terdapat sebuah sistem kepemilikan yang harus kita jaga dan kita hormati secara bersama keadaannya. Berbekal pemahaman atas hal itu, kiranya dapat menjadi landasan yang tegas bagi kita untuk mewaspadai potensi terjadinya hal yang berkontradiksi dengan nilai-nilai tersebut, yakni keinginan untuk merampas hak milik orang lain, baik itu dilakukan melalui cara yang radikal atau dengan cara yang halus sekalipun.Â
Diantara cara radikal yang biasa ditempuh oleh seseorang untuk mengambil paksa hak milik orang lain adalah melalui upaya pungutan liar, mencuri, begal, merampok, dan lain sebagainya.Â
Sedangkan untuk cara yang lebih halus untuk merampas hak milik orang lain itu, mungkin saja biasa dilakukan oleh seseorang dengan cara menyusun aturan atau siasat tertentu yang dibuat untuk mengeruk keuntungan pribadi, mencari beking kekuasaan demi memuluskan jalan untuk memperoleh hak milik orang lain dengan cara yang seakan-akan tampak legal, padahal kenyataannya sungguh benderang praktik kezalimannya. Dan lain sebagainya.Â
Selanjutnya, apakah kiranya yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur legal dan tak legalnya perpindahan status kepemilikan tadi?
Jika kita menggunakan indikator yang sistemik maka barangkali jawabnya adalah hukum, aturan, atau Undang-undang. Namun, jika kita hendak menggunakan ukuran yang lebih sederhana dan mudah, maka jawabnya adalah rasa keadilan.Â
Siapa saja tentu dapat mengira dan menimbang apakah transaksi yang mereka lakukan tersebut sudah dijalankan secara adil sehingga tidak ada potensi untuk merugikan pihak yang lain.Â
Akan tetapi, adil menurut ukuran kita sendiri barangkali belum tentu akan disepakati atau dianggap adil oleh pihak lain. Ini berarti untuk mencapai nilai keadilan tersebut harus dilandasi rasa maupun kata mufakat dari masing-masing pihak yang bertransaksi.
Sebab, dengan tidak adanya perihal tersebut, maka akan rawan dengan terjadinya praktik manipulasi maupun pengambilan paksa hak milik orang lain yang sudah barang tentu akan merugikan pihak lainnya.Â