Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fabel, Mengungkap Perilaku Binatang dalam Kemasan Sastra

6 Januari 2021   08:00 Diperbarui: 7 Januari 2021   11:45 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kisah monyet dan buaya sebagai bagian dari fabel (dongengceritarakyat)

Saat saya menyebut kata binatang dalam judul tulisan ini, takada maksud sedikit pun dari saya untuk menyinggung sekelompok manusia atau pihak tertentu yang mungkin perilakunya mirip mereka. Perkara nanti apakah ada pihak yang merasa tersentil karena ada kemiripan sifat atau bahkan memiliki sifat yang lebih buruk dari mereka, maka itu adalah soal lain.

Jika saya mengingat kembali salah satu bahasan dalam pelajaran bahasa Indonesia yang dulu pernah saya pelajari semasa sekolah di SMA, saya menjadi teringat dengan salah satu materi yang pernah disampaikan oleh salah seorang guru saya yang bernama pak Didik.

Waktu itu, guru yang menurut saya sangat kharismatik itu menyinggung bahasan tentang fabel yang berisi tentang sajian cerita mengenai hewan-hewan yang mampu berbicara selayaknya manusia.

Kemudian, oleh karena saya memandang kisah hewan yang bisa berbicara seperti manusia itu perihal yang mustahil, maka saya pun menganggapnya hanya sebagai cerita kosong yang tanpa makna.

Dan oleh sebab cara pandang saya yang terlampau sempit itulah kemudian saya pun mengabaikan begitu saja macam-macam kisah fabel itu dengan dalih untuk menghindari waktu yang terbuang percuma lantaran menyimak kebohongan.

Ditambah lagi, saya yang waktu itu sedang mengalami masa puber, mulai timbul rasa malu pada diri saya manakala menyaksikan tontonan apa saja yang menurut saya adalah muslihat. Apalagi jika kisah tersebut disajikan dalam bentuk film kartun, tambah tegaslah dalam benak saya rasa malu ketika menyaksikan cerita tipuan untuk anak-anak itu.

Waktu terus berjalan, hingga saya pun lekas menyadari bahwa ternyata dari kisah fabel yang tampaknya tak mungkin ada di dunia nyata ini seringkali menyiratkan nilai-nilai tertentu di baliknya. Misalnya saja nilai tentang kemanusiaan, ilmu pengetahuan, nilai perjuangan dan lain sebagainya.

Dengan adanya nilai-nilai yang terselip pada perilaku binatang yang menjadi bagian dalam alur cerita inilah maka saya pun mulai berbalik arah untuk kembali menikmati sajian-sajian kisah fabel, baik itu yang berbentuk buku cerita maupun yang berbentuk film.

Kecintaan saya pada fabel itu kembali muncul lantaran lekas timbul kesadaran pada diri saya bahwa di dalam kemasan fabel itu ternyata terkandung sajian antromorfisme yang sejatinya merupakan sebuah pendekatan yang menarik untuk menggali dan membagi pesan-pesan kehidupan.

Jika sebuah pesan yang disampaikan secara langsung mungkin saja bisa memicu timbulnya klaim kasus hoax, pencemaran nama baik, bahkan bisa juga berujung pidana, melalui sentuhan sastra seperti fabel inilah maka hal itu setidaknya akan lebih membebaskan para penuturnya untuk mengungkap rasa, imajinasi, maupun pesan mereka dengan peluang keberterimaan khalayak yang kian terbuka.

Mengapa demikian? Sebab yang mereka pahami dari suguhan fabel ini hanyalah kisah yang kental dengan sandiwara fiksi mengenai hewan yang bisa berbicara.

Secara tidak langsung, siapa saja pasti sudah mafhum dan menganggap bahwa apa yang disajikan oleh pencerita fabel itu tentu tidak ada dalam versi aslinya. 

Perkara nanti ada kemiripan dengan dengan kisah aslinya, bisa jadi hal itu merupakan sebuah kebetulan atau bisa juga karena kreativitas si penyajinya sehingga kisahnya menjadi lebih patut untuk diperhatikan dan dijadikan sebagai bahan pelajaran.

Jika kemudian ada yang sampai mengklaim bahwa fabel itu adalah kisah bohong, hoax atau semacamnya, maka siapa sebenarnya disini yang pantas disebut sebagai pihak yang tidak paham akan keberadaannya? 

Pengarang yang telah menyajikan ceritanya? Penikmat cerita yang sudah paham dengan muatan sandiwaranya? Atau, si penuntut sendiri yang tidak menyenangi nilai-nilai di dalam kisah itu?

Jika ada orang yang secara terang-terangan mengakui kebohongannya dalam bercerita saja masih dianggap sebagai penutur yang tidak jujur, maka dengan cara yang bagaimana lagi harus mengungkap kebohongan maupun kejujuran? 

Haruskah ia mengikuti semua pemikiran mereka bahkan mendukung setiap kata mereka agar baru dapat dikata sebagai pihak yang benar maupun pihak yang jujur?

Atau, jangan-jangan orang yang membaca kisah tersebut benar-benar takpaham dengan kebohongannya sendiri sehingga merasa berat untuk menerima nilai-nilai kebenaran, sekalipun itu disampaikan dengan cara yang ringan, seperti dalam kisah fabel tadi. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun