Mengapa demikian? Sebab yang mereka pahami dari suguhan fabel ini hanyalah kisah yang kental dengan sandiwara fiksi mengenai hewan yang bisa berbicara.
Secara tidak langsung, siapa saja pasti sudah mafhum dan menganggap bahwa apa yang disajikan oleh pencerita fabel itu tentu tidak ada dalam versi aslinya.Â
Perkara nanti ada kemiripan dengan dengan kisah aslinya, bisa jadi hal itu merupakan sebuah kebetulan atau bisa juga karena kreativitas si penyajinya sehingga kisahnya menjadi lebih patut untuk diperhatikan dan dijadikan sebagai bahan pelajaran.
Jika kemudian ada yang sampai mengklaim bahwa fabel itu adalah kisah bohong, hoax atau semacamnya, maka siapa sebenarnya disini yang pantas disebut sebagai pihak yang tidak paham akan keberadaannya?Â
Pengarang yang telah menyajikan ceritanya? Penikmat cerita yang sudah paham dengan muatan sandiwaranya? Atau, si penuntut sendiri yang tidak menyenangi nilai-nilai di dalam kisah itu?
Jika ada orang yang secara terang-terangan mengakui kebohongannya dalam bercerita saja masih dianggap sebagai penutur yang tidak jujur, maka dengan cara yang bagaimana lagi harus mengungkap kebohongan maupun kejujuran?Â
Haruskah ia mengikuti semua pemikiran mereka bahkan mendukung setiap kata mereka agar baru dapat dikata sebagai pihak yang benar maupun pihak yang jujur?
Atau, jangan-jangan orang yang membaca kisah tersebut benar-benar takpaham dengan kebohongannya sendiri sehingga merasa berat untuk menerima nilai-nilai kebenaran, sekalipun itu disampaikan dengan cara yang ringan, seperti dalam kisah fabel tadi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H