Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Filosofi Menulis ala Petinju

29 September 2020   20:00 Diperbarui: 30 September 2020   06:53 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat saya menonton pertandingan tinju, saya biasa memetakan beberapa jenis pukulan yang mereka layangkan. 

Di antara jenis pukulan tersebut, saya bagi menjadi empat jenis: pukulan yang menerpa angin, pukulan ringan yang menghantam badan, pukulan keras yang menghantam pertahanan lawan, serta pukulan keras yang tepat sasaran.

Keempat jenis pukulan inilah yang kiranya dapat saya gunakan sebagai filosofi saya dalam dunia penulisan. Terkadang tulisan saya itu sangat ringan sehingga dianggap angin lalu saja oleh para pembacanya. Dan sesekali ia juga pernah tepat sasaran hingga menembus mata ribuan pembaca. 

Namun, sebelum saya terlalu jauh menganggit kegemilangan dari hasil tulisan saya ini, tidak elok rasanya jika saya tidak mengucap terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada redaktur yang telah menyunting tulisan saya, menambahi gambar, hingga mempromosikannya pada artikel utama. Tidak dapat dimungkiri, berkat bantuan mereka inilah tulisan saya pun menjadi lebih nyaman untuk disajikan pada pembaca.

Namun, selain itu, sebenarnya juga tidak jarang diantara tulisan saya itu yang meraup sedikit pembaca. Ini bisa saja terjadi sebab di samping saya kurang serius dalam menyusun tulisan, saya pun tidak atau kurang giat dalam beraktivitas blogwalking maupun membagi tulisan saya pada sosial media.

Dan sebenarnya berapa pun raihan pembaca itu bagi saya bukanlah masalah yang serius, sebab saya merasa masih memiliki kenikmatan lain yang tak kalah luar biasa, yakni kesempatan untuk bisa menulis.

Meski jika boleh dikata, jika mengutip kata dari Pak Tjip, beberapa tulisan saya ini ibarat teh celup, yang terkadang ada, terkadang hilang, dan sesekali jumlahnya lumayan banyak.

Dan, dengan terus meneladani semangat beliau-beliau yang aktif dalam menulis ini, ditambah hadirnya waktu senggang saya untuk melakukannya, maka kegiatan menulis inipun dapat saya lakukan, dengan raihan yang terkadang lumayan. Misalnya saja tiga artikel dalam sehari. 

Tiga artikel? Bagaimana dengan bobotnya? 

Terus terang selama menulis di sini saya seringkali abai dengan bobot tulisan. Sebab, bagi saya, diantara metode menulis yang paling mengasyikkan adalah dengan mengalirkan apa saja yang ada di dalam kepala (selama tidak berbenturan dengan kaidah yang berlaku, tentunya). Sehingga tidak mengherankan jika kemudian tulisan saya ini dilabeli cap angin, alias tidak berbobot. 

Apakah saya kecewa dengan label ini? Tentu saja tidak, sebab aktivitas menulis itu sendiri bagi saya adalah sebuah kepuasan. 

Dan, manakala saya mengambil ibarat dari pukulan yang dilayangkan oleh para petinju tadi, meski menerpa angin, saya kira itu lebih baik baginya daripada tidak memberikan serangan sama sekali kepada lawan. Yang artinya sama saja dengan memberikan kesempatan pada lawan untuk menyerang. 

Lawan utama dari para penulis adalah rasa malas. Jika penulis tak berusaha untuk melawan dan mengalahkannya, maka ia pun akan berbalik menyerang dan bahkan memberikan kekalahan.

Tentu saja rasa malas ini sangat tidak kita harapkan akan memenangi pertarungan tinju produktivitas menulis dengan kita. Dan oleh sebab itulah, maka kita pun harus melakukan serangan sebanyak dan sekuat mungkin yang mampu kita lakukan di bidang penulisan. 

Boleh-boleh saja jika kemudian pemahaman saya ini dianggap berseberangan dengan idealisme sebagian penulis (hebat) yang memprioritaskan dirinya untuk tidak menulis (demi menunggu datangnya inspirasi), daripada menulis namun hasilnya jelek. 

Jika memang demikian yang terjadi, ya, silakan saja. Sebab itu adalah jalan pikiran mereka. Lagi pula tidak mungkin saya akan memaksa siapa saja untuk mengikuti pemahaman saya yang belum tentu benar ini. 

Pemahaman yang selama ini saya anggit adalah teruslah saja menulis meskipun itu jelek. Dan jika saya masih belum merasa puas dengan hasilnya, maka saya akan menyerahkan tulisan itu pada proses penyuntingan. Penyuntingan yang saya lakukan sendiri, tentunya. 

Seberapa banyakkah proses penyuntingan itu? Ya, kembali pada kepuasan saya atas hasilnya, setelah saya melakukan pembacaan berulang dan perbaikan di sana-sini. 

Dengan memedomani hal inilah, setidaknya beberapa kali saya telah berhasil meng-KO rasa malas pada diri saya untuk menghasilkan sebuah tulisan, terlepas dari hasil apa yang akan saya peroleh nanti. [mam]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun