Kemarin malam, sekitar pukul 23.00 WIB, Dul Kaher berkeliling desa untuk menghilangkan rasa suntuk lantaran ia belum juga mendapat ide untuk menulis di Kompasiana.Â
Seperti biasa, ia mengitari dusunnya itu dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Vega keluaran tahun 2007-nya.Â
Jalanan sudah tampak lengang, sebab di waktu yang selarut ini biasanya penduduk kampung lekas beristirahat. Apalagi saat itu adalah malam Jumat, waktu yang sebagian orang menganggapnya sebagai saat yang tepat untuk memadu nikmat.Â
Tak terasa, sepeda motor Dul Kaher telah sampai di areal persawahan, dimana biasanya ia jogging bersama anak-anaknya ketika pagi hari. Keadaan area itu kini begitu senyap dan hanya memperdengarkan suara jangkrik, kodok, dan jenis binatang malam lainnya.Â
Sepeda motor terus ia kemudikan dengan tenang hingga melewati kuburan tunggal, tempat sang perintis desa disemayamkan. Dul Kaher mencoba melirik ke arahnya, barangkali ada hal unik yang dapat ia temui.Â
Namun, sepertinya tidak ada apapun di sana, kecuali hanya hembusan angin yang bertiup setengah kencang. Sepeda motor tetap ia lajukan hingga hampir sampai di ujung area persawahan.Â
Saat hendak menghentikan sepeda motornya di ujung persawahan itu, tiba-tiba Dul Kaher mendapati sosok hitam yang tengah bersimpuh di bahu jalan. Fisiknya tampak tak begitu jelas sebab areal itu belum terpasangi lampu penerang jalan. Bau anyir bercampur amis menyeruak keluar dari badan sosok itu, seperti bau orang yang tak pernah mandi selama beberapa bulan.Â
Dul Kaher mencoba mendekati sosok itu sambil membiasakan diri dengan bau anyir dari badannya. Rasa penasarannya akan sosok misterius itu telah mengalahkan rasa risihnya terhadap bau tak sedap itu.Â
"Pak, Sampeyan siapa?" Dul Kaher membuka percakapan dengan sosok itu dengan sebuah pertanyaan.Â
"Dasim."