Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menebak Makna di Balik Simbol Tingkatan Penulis Kompasiana

11 September 2020   04:45 Diperbarui: 11 September 2020   22:53 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain centang hijau dan biru, Sobat Kompasianer pastinya sudah tahu kan dengan ikon-ikon gambar yang menyimbolkan tingkatan penulis ini?

Ya. Kita tahu ada tujuh simbol yang biasa kita lihat untuk melambangkan tingkatan mereka: debutan, junior, taruna, penjelajah, fanatik, senior, dan maestro. 

Awal kali saya melihat simbol-simbol itu, saya merasa gemes-gemes lucu. Sebab, menurut saya ikon gambar itu seakan memiliki keunikan tersendiri untuk menggambarkan kondisi para penulisnya. 

Gambar-gambar unik itu tentu punya makna tersendiri kenapa ia dibentuk sedemikian rupa oleh si pembuatnya. 

Dan sebelum saya membahas lebih jauh mengenai perkiraan makna dari simbol-simbol ini, terlebih dahulu saya akan menyampaikan celah dari dugaan saya ini. Dimana dari celah ulasan ini mungkin saja akan dapat dilengkapi oleh penulis lainnya dengan sudut pandang yang berbeda.  

Baik. Keterbatasan dari ulasan saya ini adalah berasal dari sudut pandangnya yang sangat subjektif sebab hanya berasal dari imajinasi saya sendiri. 

Dan sebab adanya kesan subjektif inilah maka saya pun akan mempersilakan siapa saja untuk mengulas maknanya dengan sudut pandang yang lain untuk menggenapi celah-celah ulasan yang terdapat pada tulisan ini. 

Bagaimanapun celah-celah ulasan pada tulisan ini pastilah ada. Sebab saya memaknai simbol-simbol itu hanya berdasarkan imajinasi saya atas ciri-ciri fisik mereka itu. 

Apa sajakah kira-kira makna dari simbol itu? Mari, kita ulas bersama satu persatu..

Debutan 

Ikon ini digambarkan dengan seorang yang berambut kuncung dengan ekspresi mimik muka yang datar. Gambaran ini sepertinya diserupakan dengan keadaan seorang bocah bayi yang rambutnya baru tumbuh sebagian. 

Dan, biasanya, dalam tradisi orang Jawa kuno, ketika seseorang masih seumuran bocah balita, ia akan dicukur dengan model kuncung [potongan gundul dengan menyisakan rambut di bagian atas kepala]. 

Sementara itu, mimik muka yang datar sepertinya ia menyerupakan kepolosan si penulis debutan dengan seorang bocah balita yang terkesan polos, lugu, dan tampil apa adanya, sebab masih terbatasnya pengetahuan dan kebijaksanaan mereka.

Gambar 'bocah berambut kuncung' ini saya kira sangat cocok untuk menggambarkan kondisi penulis debutan seperti saya ini. Dimana gagasan dalam tulisannya mungkin akan dirasa sering ngawur oleh pembacanya sebab landasan pengetahuannya hanyalah cocokologi. Dan, untuk bukti lebih jelasnya, ya, tulisan saya ini.

Tapi, eits, tunggu dulu! Meski posisinya hanyalah sebagai debutan, bukan berarti si penulis di tingkatan ini tak memiliki keunggulan sama sekali. Ulasan si penulis debutan yang seringkali terkesan melantur itu bisa saja sewaktu-waktu akan dipandang memiliki keunikan tersendiri oleh sang redaktur, sehingga sesekali ia pun akan menayangkannya di artikel utama.

Jadi, bagi penulis yang masih berada dalam kategori debutan sebaiknya tidak perlu berkecil hati untuk menampilkan tulisan-tulisannya. Tunjukkanlah pada mereka kalau Kamu memang bisa! 

Junior 

Gambar ikon si junior ini dilukiskan dengan seorang anak yang rambutnya telah lebat dan dibelah pinggir oleh emaknya. Dengan penampilannya yang demikian, si bocah ini pun lekas menampakkan tanda-tanda kebagusan di wajahnya. 

Kalau kita padankan dengan usia anak manusia, mungkin saja si junior akan diserupakan dengan anak tingkat sekolah dasar. Tapi, apakah benar kualitas tulisan dari bocah tingkat sekolah dasar bisa menyamai kualitas tulisan si junior? Ya. Jelas belum tentu benar. (Halah, bilang saja penulisnya nggak mau dikecengin sama anak SD!).

Baiklah, kita lanjutkan saja.. 

Secara filosofis, mungkin saja makna yang ingin disampaikan melalui ikon 'si bocah bagus rambut belah pinggir dan anak kesayangan emak' ini adalah keadaan tulisan yang semakin baik di hadapan pembacanya. Dari keadaannya yang dulu masih tampak polos dan tak beraturan, kini makin berubah menjadi lebih rapi. 

Tapi, di situ khan digambarkan mata si junior memicing sebelah? Apa kira-kira maknanya? Adakah kaitannya dengan Si Dajjal? 

Aduh, pertanyaannya kok jadi kemana-mana sih? Tapi, nggak apa-apa lah. Silakan bertanya kalau memang tidak tahu. Ini masih mending daripada nggak tahu tapi lagaknya sok tahu. 

Baik. Kalau menurut anggitan saya, si bocah yang memicingkan satu matanya ini bukanlah simbol dari dajjal. Bukan. Akan tetapi lebih pada makna proses yang dilalui oleh seorang penulis untuk mempertajam cakrawala berpikir dan memandang persoalan.

Dasarnya apa? 

Kita tahu sendiri kan, kalau orang mau menembak, entah itu yang pakai ketapel atau pakai senapan, satu matanya selalu dipicingkan agar akurasi bidikan akan tepat sasaran. 

Demikianlah pula kiranya yang terjadi pada penulis junior itu. Ia akan lekas memfokuskan pandangan dan wawasannya dalam menulis agar kualitas tulisannya semakin membaik dari waktu ke waktu. 

Selain itu, gambar tersebut juga bisa diartikan bahwa si penulis ini lekas ingin memfokuskan dirinya di dunia kepenulisan. Sehingga ia pun berusaha dengan sebaik mungkin untuk dapat mengatur waktu menulisnya di sela-sela kegiatan lainnya. 

Taruna 

Ikon ini digambarkan dengan seorang anak yang tengah bersiul-siul sambil memamerkan rambut jambul ala Elvis Presley-nya.

Jika saya mengamati tingkahnya ini, sepertinya mirip dengan ulah adik-adik kita yang masih duduk di tingkat SMP-SMA yang gemar memamerkan penampilan mereka untuk menggoda lawan jenis. 

Akan tetapi, khusus untuk dugaan saya yang satu ini, saya berharap perkiraan ini keliru. Sebab saya tahu sendiri bahwa perilaku adik-adik kita itu, terutama yang sering baca Kompasiana, tidaklah sedemikian itu. Tidak jauh berbeda maksudnya. Hehe. 

Baik. Kembali lagi ke bahasan makna ikon 'bocah jambul' ini. 

Penulis yang sudah sampai pada tahap taruna ini, tentu sudah dapat dikatakan lebih produktif dibandingkan dua penulis di bawahnya, apalagi jika dibandingkan dengan mereka yang tidak menulis sama sekali. 

Sehingga, dengan adanya keunggulan ini, bisa jadi akan lekas memunculkan sifat buruk pada diri penulis kelas itu. Yakni sifat pamer, sok keren, dan jemawa (sombong), ketika berhadapan dengan penulis yang tingkatannya berada di bawahnya. 

Jika memang demikian adanya, maka saya pun memiliki dugaan, jangan-jangan ikon ini memang sengaja dibuat oleh pengembangnya sebagai pengingat bagi para penulis agar tidak terjerumus pada sifat-sifat buruk itu. 

Penjelajah 

Penulis kelas ini digambarkan dengan seorang yang berkacamata sambil meneriakkan kata "U", yang mungkin saja maksudnya adalah ingin mengungkapkan kata 'buku'. 

Perubahan mencolok yang terdapat pada ciri fisik ikon penulis kelas penjelajah ini adalah pada atribut kacamata, yang sebelumnya tidak pernah ia pakai. 

Gambar ini seakan ingin mengungkapkan bahwa kondisi penulis yang berada di tingkatan ini adalah untuk seseorang yang sudah mulai luas bacaannya, sehingga ia acapkali meneriakkan kata 'buku', yang mungkin saja maksudnya adalah referensi. 

Referensi itu bisa berasal dari mana saja. Baik itu dari buku bacaan, laman-laman terpercaya, jurnal, maupun kondisi yang di sekelilingnya. Sehingga mau tidak mau jika berhadapan dengan penulis kelas ini, kita harus siap dalam menyajikan referensi yang valid, terpercaya, serta tidak asal dalam mengembangkan wacana. 

Sebab manakala kita asal-asalan dalam berpendapat dan mereka mereka pun ragu dengan pernyataan kita itu, bisa saja mereka akan menagih pada kita untuk menunjukkan referensinya. 

Maniak 

Ikon ini menggambarkan seorang berkacamata yang tampak keranjingan dalam menulis. Secara 'anjay', ia tampak menikmati betul aktivitas menulisnya itu. 

Saya sempat curiga pada ikon yang satu ini. Yakni, dia itu sebenarnya sedang menulis (mengetik) atau sedang bermain game, kok bisa-bisanya tampak begitu keranjingannya? 

Tapi, setelah saya melihat sendiri betapa produktifnya mereka dalam menulis, maka saya pun berganti dugaan, yakni tidak mungkin mereka itu sedang bermain game. Saya meyakini bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah menulis. Atau lebih tepatnya, menulis senikmat bermain game. 

Mungkin saja inilah yang dapat digambarkan dari seorang penulis yang sudah sangat keranjingan alias fanatik dengan aktivitas menulisnya itu. 

Senior

Atribut yang menarik dari penulis senior ini adalah tersematnya atribut udheng-udheng atau ikat kepala berwarna merah pada kening mereka. Ikat kepala ini seakan menyiratkan bahwa perilaku dari si penulis senior ini adalah senantiasa ingin mengikat apa saja yang ada di dalam kepala mereka melalui sebuah tulisan. 

Dengan demikian, bisa jadi mereka tidak akan lagi terlalu mengandalkan daftar rujukan. Sebab seringkali yang akan mereka tuliskan adalah seputar pengalaman mereka sehari-hari. 

Ibarat kata mereka, untuk apa banyak berteori atau banyak-banyak mengumumkan data, jika mereka sendiri sudah begitu kenyang makan asam garam dalam kehidupan. Menurut anggapan mereka, soal teori biarlah yang muda-muda itu saja yang mengurusnya. 

Maestro

Merupakan kasta penulis tertinggi yang entah akan ada atau tidak di forum Kompasiana ini. Tapi, saya yakin, suatu saat nanti pasti akan ada diantara penulis yang ada di sini yang sampai pada tingkatan ini. Tapi, entah kapan itu akan terjadi.

Saya menaruh kepercayaan atas raihan penulis maestro ini pada bahu Pak Tjiptadinata Effendi dan Mas Khrisna Pabhicara.

Kenapa harus kedua orang itu? 

Alasannya, untuk Pak Tjiptadinata, kita sama-sama tahu bahwa beliau adalah seorang penulis senior terproduktif di Kompasiana ini dengan raihan 5.046 tulisan, per 10 September 2020. Produktivitas beliau dalam menulis itu akan kian mengantarkannya pada tingkatan penulis maestro dengan hanya satu syarat, yakni jika masih ada sumur di ladang. 

Sedangkan untuk Mas Khrisna Pabhicara, sejatinya saya menganggap beliau ini adalah seorang penulis maestro yang menyamar menjadi penulis biasa di Kompasiana. Hehe. 

Dan, sebelumnya saya mohon maaf pada Pak Tjiptadinata dan Mas Khrisna. Demi kebaikan bersama, saya pun terpaksa harus mencatut nama Jenengan berdua pada tulisan ini. 

Sebenarnya kedua nama ini hanyalah sebagai 'pancingan' saja untuk para Kompasianer. Yakni manakala mereka mendambakan sampai pada tingkatan penulis kelas maestro ini, maka caranya adalah dengan meneladani jalan yang ditempuh oleh beliau berdua. 

Mereka boleh menapaki jalan kegigihan seperti yang telah ditempuh oleh Pak Tjip, yang selalu rutin dalam menulis dan berbagi kisah tentang pengalaman-pengalaman pribadinya. 

Pengalaman hidup beliau yang teramat banyak inilah yang seakan menjadi sumber inspirasi tulisan yang tidak pernah ada habisnya, sehingga setiap harinya, beliau pun belum pernah terlihat absen menulis di Kompasiana. 

Dan pengalaman beliau ini pun bertambah lengkap dengan adanya stamina luar biasa yang dimiliki oleh beliau, baik untuk menulis dengan gaya maraton maupun dengan gaya sprint [untuk kedua teknik menulis dari Pak Tjip ini, bisa dibaca pada salah satu artikel beliau yang terdahulu].

Sedangkan untuk Mas Khrisna Pabhicara, kita sudah sama-sama tahu mengenai kepakaran beliau dalam ihwal kepenulisan. Sejumlah karya beliau yang telah banyak beredar di toko-toko buku merupakan bukti sahih atas karir beliau dalam dunia tulis-menulis ini. 

Sehingga besar kemungkinan, dengan adanya modal kepakaran beliau ini, seakan proses untuk mendaki tangga penulis maestro hanyalah tinggal menunggu waktu saja. 

Jika kita ingin meneladani jalan yang ditempuh oleh Mas Khrisna, maka jalan yang bisa kita ikuti adalah senantiasa berlatih untuk menyempurnakan diri di bidang ilmu literasi dan dunia mengarang. 

Dengan berbekal dua hal itulah, maka tidak akan ada ceritanya kita akan mengalami kekeringan ide maupun inspirasi pada saat menulis, seperti yang dulu juga pernah diakui oleh Mas Khrisna pada salah satu tulisannya. 

Dengan demikian, jika kita telah memiliki beberapa bekal berharga ini, maka dampaknya bagi kehidupan menulis kita adalah akan menimbulkan ke-ajeg-an atau konsistensi dalam berkarya hingga pada masa yang akan ditentukan sendiri oleh Tuhan. 

Itulah dugaan saya mengenai makna yang tersembunyi di balik simbol-simbol ikon yang digunakan untuk menandai tingkatan penulis di Kompasiana ini. 

Dan, tentu saja, perkiraan saya ini sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, kecuali setelah ditanyakan secara langsung pada pihak yang membuat simbolnya. 

Lagian, apakah ini penting? [mam]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun